Friday 11 April 2014

-- Entah --



Kediri, 10 April 2014
9.04pm, di kamar yang katanya nyaman. Di kota tempat pelarian yang menghabiskan banyak uang..

Aku, pernah sangat yakin pada keajaiban yang pernah dikatakan oleh seorang pemuda peralihan yang mengaku dia dewasa.
Pernah sangat berharap bahwa hidupku akan terus berpangku terdiam menanti datangnya kembali takdir sang Kuasa. KeajaibanNya.
Pernah jatuh teringsut di sudut cerita paling ringkih yang pernah ada.
Bodohnya meninggalkan seseorang yang benar-benar menyayangiku lagi hanya demi dia, pemuda peralihan. Tidak, aku tidak pernah mau menyalahkannya, dia yang katanya masih senang dengan masa sendirinya, tapi beberapa bulan setelah dia berkata seperti itu, dia malah beralih menuju daun segar lainnya. Ya, takdir dan cerita memang tak selalu indah, kalau indah-indah saja namanya bukan hidup, itu hanya dongeng klasik ala-ala yang dibuat-buat, tidak nyata.
Aku, pernah dengan sombongnya meninggalkan, tak sadar, betapa perihnya kehilangan, betapa menyakitkannya ditinggalkan, dengan atau tanpa sebab yang namanya perpisahan bukan hal mudah dan simple layaknya 1+1=2, ini bukan perkara matematika yang sudah pasti angkanya, ini kehidupan.
Bukan tanpa sebab saat harus menghadapi pahitnya mengkhianati dan akhirnya dikhianati lantas dengan sejuta alasan membuat keputusan bahwa sudah tidak ada jalan lagi untuk cerita kita, untuk kamu dan aku. Sesederhana ucapan “Bapakku pengen aku nikah sama oranglain”. Bagai guntur, demi apapun hal itu benar-benar terucap olehmu. Kita berpisah, aku merelakanmu memilih orangtuamu, karena aku tahu, aku bukan mereka, anak orang berada dengan banyaknya fasilitas dan uang yang bisa asal tunjuk lalu dapat atau hanya perlu merengek dua kali dihadapan ayah ibunya, aku berbeda, aku bukan mereka. Aku, hanya seorang gadis biasa saja yang katamu dulu selalu kau sayangi, yang katamu dulu meskipun saat nyawamu sudah naik dan ragamu membiru siap ditimbun dibawah tanah kamu masih ingin bersanding di sebelahku, kamu ingin dimakamkan di sampingku. Tapi itu dulu, hanya sebuah bualan remaja lelaki yang sudah hampir habis usia remajanya. Sejak kau berkata kau mati rasa, aku mundur, aku merasa lebih baik pergi, dengan sombongnya berkata dalam hati mertua mana yang berani menolak seorang gadis berpendidikan, cantik dan bermasa depan cemerlang. Aku pergi. Mengubur semua mimpi dan khayalan kita, yang bermalam-malam lalu pernah menguar di langit-langit kamar, kamar kos, kamar tempatku selalu menangis sedih memelukmu saat semua masalah kehidupan antri. Saat tidak ada tempat berlari paling aman dan nyaman menurutku. Pelukmu, dadamu, belaianmu, semuanya sempurna. SEMPURNA.
Tapi, itu dulu. DULU.
Sudah setaun yang lalu semua ku akhiri, cerita rumit yang melilit antara aku, kamu dan mantan kekasihku yang sudah jelas semua orang tahu dia sahabatmu. Dia, pemuda peralihan itu. Dia yang pernah dengan sederhananya membuatku melepaskan kekasih 3,5 tahunku, hanya karena rasa sayang. SAYANG ? Mungkin itu hanya penasaran, rasa penasaran yang kamu sendiri bahkan tidak akan pernah tahu ujungnya. Sampai kau dapati, lelaki itu tidak pernah benar-benar menyayangimu. Tidak benar-benar.
Semuanya berakhir. Bukan hanya aku dan kamu. Aku dan diapun juga.
Selesai.
Kalian tahu, entah angin mana itu yang membawa aku menjadi perempuan seperti ini, menutup hatinya rapat. Pernah beberapa kali dicoba dan itupun selalu gagal. Faktornya bukan lelaki-lelaki malang itu, lagi-lagi aku lagi. Aku lagi yang menyakiti, tidak mempersiapkan hati. Belum sadar usianya sudah kepala dua, mau saja didekati lelaki kanan kiri, tidak berpikir akan jadi apa. Yang disadari hanya dia butuh hiburan dari luka-luka kemarin.  Luka-luka yang semakin menganga saat menyadari ada perempuan lain yang saat itu mulai membelaimu, dia bukan perempuan anak juragan kaya pilihan bapak ibumu, dia temanmu, sahabatmu kata mereka. Aku bukan perempuan yang sebodoh itu, sudah jelas, sahabat dan teman atau sayang yang lebih bisa dibedakan hanya dengan tatapan mata. Aku tahu itu. Tapi, terlalu munafik jika aku harus mengumpat kalian, sudahlah, ini takdirku. Mungkin, ini balasannya. Bukannya pemegang nyawa kita adalah Dzat yang paling adil. Lebih baik berpikir bagaimana caranya sembuh daripada harus mengutuk perbuatan kalian, karena aku tahu, salahku juga selalu menyakitimu.
Dan sejak hari itu aku memilih meringankan kakiku berjalan sendiri. Aku mulai bisa berjalan lagi, sedikit tertatih, tapi aku bisa, yakini bisa melangkah diatas kedua kakiku sendiri.
Sebenarnya lelaki baik hati ini sudah hadir tepat beberapa minggu setelah aku memutuskan meninggalkan kalian berdua. Tapi mungkin kehadirannya itu hanya sepenggal cerita permulaan, mungkin Tuhan mengizinkanku mendamaikan hati dulu sebelum akhirnya jatuh menggelayut paling dalam dihati lelaki itu, karena mungkin Tuhan sudah merencanakan sakit yang ku tanggung akibatnya lebih dahsyat dari apapun. Dari yang kemarin-kemarin.
Sudah berbulan mengenal, berbincang akrab layaknya teman lama yang terpisahkan. Sedikit jauh lalu mendekat menjauh dan mendekat. Sampai pada waktu itu kamu mendekat, mengakrabiku lagi. Saat itu entah takdir atau apa aku menjawab sapaanmu, sapaan dan ucapan maaf khas hari raya lebaran fitri. Kita mulai berbincang lebih akrab lagi, lewat pesan singkat di telepon genggam cerdas yang kini pasaran dimiliki setiap orang. Entah nyaman mana yang mengikutimu saat itu,nyaman apa yang berusaha menembus dinding kokoh pertahananku dalam masa penyembuhan. Kamu hadir, cemerlang. Mengisi setiap hariku, dengan sapaan khas yang hanya aku yang mengerti maksudmu, dengan banyak pesan-pesan singkat itu. Kau datang, nyata dalam memoriku. Seolah sebagai penyelamat atau mungkin hanya perantara. Percaya atau tidak, hanya kamu lelaki yang datang dan aku tak pernah membayangkan mendapat sesuatu yang lebih darimu. Sungguh, saat itu aku terlalu bodoh untuk memahami dan berharap lagi. Aku membiarkannya mengalir tanpa pernah tersadari akhirnya aku jatuh hati lagi. Sudah lama rasanya tak secepat itu menyayangi. Akhirnya aku menyayangi lagi, menyayangimu.
Aku benar-benar merasa bersyukur bisa dipertemukan denganmu waktu itu, aku merasa beruntung. Tuhan membawamu menemuiku, di kota kesayanganku yang istimewa. Kau datang tepat ditanggal 6 bulan sebelas. Tepat setelah kurang lebih hampir 9 bulan aku mengenalmu. Tepat kurang lebih 4 bulan setelah kita benar-benar dekat.
Hari itu, aku bahagia. Bahagia. Mungkin, hanya seluruh aspal jalanan yang tahu aku tersenyum gugup sepanjang perjalanan. Bingung membayangkan kalimat pertama yang akan ku sampaikan, bingung harus bersikap bagaimana di depanmu, bingung bagaimana rasanya saat harus menatap matamu dan berusaha mencari namaku disana. Aku gugup. Aku bahagia.
Mungkin kamu tidak akan pernah tahu, dua buah buku yang ku berikan padamu hari itu memang benar-benar ingin ku sampaikan padamu, aku ingin kau membacanya, agar saat kau benar-benar memulai profesimu kau masih bisa bersemangat, masih bisa tersenyum demi kebahagiaan orangtuamu, karena aku juga pernah di posisimu.
Maaf, sebelum akhirnya kau jujur mengatakan tentang profesimu, aku sudah beberapa langkah lebih tahu. Demi apapun, saat itu aku menangis, menangis sejadinya diatas kasurku lalu berpindah diatas sajadahku, bukannya sok suci atau alim. Aku hanya bingung, kenapa ALLAH mengirimkanku lelaki berprofesi sepertimu. Bukan profesimu yang buruk hanya saja aku yang terlalu kecil, terlalu kecil, dan takut. Ya, aku sadar diri. Posisi pekerjaanku berada di bawahmu, meskipun tidak semua Dokter itu pintar tapi tetap saja Bidan tidak lebih dari pesuruhnya. Entah semesta mana yang membuatku beringsut hari itu, aku sudah sadar sejak hari itu, bahkan takut lebih dulu. Takutnya bapak ibukmu juga menolakku. Aku sadar diri.
Hari itu, tengah hari yang panas, di sebuah pusat perbelanjaan di Kotaku motor hitamku meluncur menuju tempat parkirnya, aku berjalan menuju toilet terdekat demi mencuci tangan dan mengelap muka, membubuhkan bedak tipisku lagi dan memoles sedikit lipstick peach dibibirku. Aku berjalan lagi menuju sebuah café yang berada ditengah dua pusat perbelanjaan terkenal itu. Tapi apa kamu tahu aku tidak seberani itu langsung menemuimu, aku terdiam di depan toko aksesoris itu, terdiam memandangi telepon genggamku. Sampai akhirnya keberanianku membulat aku berjalan menuju ke arahmu. Aku lupa memakai kacamataku. Sedikit gugup melepas pandang ke seluruh penjuru tempat itu, ku dapati ada lelaki manis duduk di sudut tempat ini, memakai baju hitam dan berkacamata, dia tersenyum ke arahku. Dia itu kamu. Aku duduk di hadapanmu, memberanikan diri bertanya. Di hadapanku sudah ada susu coklat kesukaanku, kamu memesannya lebih dulu. Kamu tahu, saat itu, jangankan memandangmu untuk membuka sedotan dihadapanku dari bungkusnya pun aku gemetaran, aku sangat gugup.
Kita memulai berbincang, bercerita apapun yang bisa diceritakan. Saat pertama itu, aku merasa sangat nyaman berada di dekatmu, tidak pernah ku buat-buat, aku memang nyaman, makan siang satu meja, menatapmu malu-malu, melihatmu tersenyum, mendengar suaramu. Dengan bodohnya mencoret-coret partograf yang kau serahkan padaku, aku tahu maksudmu menunjukkan itu, tapi masa bodoh, aku tidak peduli profesimu, sejak awal kau bahkan tahu aku tidak pernah menyukai Dokter, Dokter Muda. Meskipun semua teman-temanku berlarian mengejar mereka, berharap ada satu saja yang menoleh kearah mereka atau sederhananya menjadikan mereka kekasihnya. Tapi aku tidak, dari awal aku memang enggan menaruh harap pada orang-orang itu. Setahuku dulu kamu hanya tenaga kesehatan yang sama sepertiku, hanya mas-mas perawat. Sayangnya, aku terlalu polos menyadari semua itu. Atau terlalu bodoh.
Kamu bercerita panjang lebar, tentang dirimu, kenapa tidak jujur soal profesi itu. Dan sebagainya dan sebagainya. Dan sampai pada hal, orangtua. Iya langit, dia berkata tentang ORANGTUA.
Seperti tidak tega melihatku, kata-katamu tak tersampaikan di tempat makan itu. Aku dengan asyiknya mengunyah makananku, kita bertukar makanan, melihat ekspresi kekenyanganmu yang memaksakan menghabiskan makanan itu, melihatmu mengunyah tomat segar dihadapanku. Itu menyenangkan. Menyenangkan.
Kita berdua pergi dari tempat itu, berjalan beriringan. Mungkin beberapa pasang mata sedang menyaksikan tapi aku tak peduli, aku lebih senang memilih mengoceh di sebelahmu. Naik lantai 3. Di depan 21, dengan bodohnya aku menolak ajakanmu. Aku menolak nonton berdua saat itu, dan itu salah satu penyesalan terbesarku, ku kira aku masih punya banyak kesempatan bersamamu, aku salah, aku keliru. Turun ke lantai dua. Masuk toko buku. Keluar. Berbincang di depannya, sibuk memperhatikan orang yang berlalu lalang, dan sibuk membicarakan mereka.  Dan turun lagi, lantai dasar. Kamu mengantarku ke tempat parkir motor hitamku yang manis, berjalan di belakangku. Membawakan tasku tanpa ku minta, memandangiku membuka jok motor dan memakai jaket dan akhirnya keluar kalimat-kalimat itu. Pamit. Itu katamu, aku tercengang, setengah tak percaya. Mungkinkah ? baru saja aku bisa tersenyum dan merasa diriku sudah kembali. Kamu tidak akan pergi, tetap di sampingku, hanya lewat pesan singkat, hanya lewat itu, tapi kamu berkata tak kan pergi, hanya aku harus memilih orang lain, kamu takut menyakitiku, kamu takut aku kecewa. Kamu meminta maaf lagi, maaf tidak bisa menghabiskan masa profesimu di Malang. Di kotaku. Bagiku, itu tidak masalah, sama sekali tidak. Dimanapun kamu, aku selalu sayang, selalu menunggu. Tapi, alasanmu ingin pelan-pelan menjauh dariku karena orangtuamu  yang membuat panas kedua mataku saat itu, aku hanya tak ingin tiba-tiba menangis di hadapanmu. Aku terdiam, berusaha tersenyum, berusaha mencari-cari lagi namaku di kedua bola matamu, ku pandang dalam-dalam, ku lihat erat-erat, sadar tak bisa memilikimu terlalu lama, aku masih berusaha tersenyum, berusaha mencari pembenaran hari itu. Kamu jujur, berkata menyayangiku hari itu saja bagiku sudah cukup, aku tak pernah menuntutmu jadi apapun sejak awal, tidak pernah berharap bisa mendampingimu dalam waktu lebih lama. Tidak peduli resikonya aku tetap pada pendirianku, masih ingin bersamamu. Sentuhan lembut tanganmu dikepalaku hari itu membuatku yakin, sebenarnya tanpa bertanyapun sudah jelas bagaimana hatimu. Perasaanmu. Aku masih ingat tawamu saat aku mengerucutkan bibirku manja, kau tertawa, di depanku. Rasanya aku ingin jam berhenti beberapa saat waktu itu. Ingin.
Pulang,
Aku bahagia, sebenarnya bercampur airmata sedih dan senang, susah dibedakan.
Kita tidak pernah benar-benar menjauh. Tidak pernah benar-benar mencoba melupakan. Justru aku merasa hari demi hari, bulan demi bulan aku semakin menyayangimu.
Bulan ke dua belas tahun lalu, aku menghitung sendiri. Aku hanya ingin bersamamu sedikit lebih lama, meskipun resikonya aku harus terluka. Ku tulis sendiri dan ku hitung sendiri, sisa berapa lama lagi aku bisa bermanja padamu, menunggumu pulang, membaca ucapan selamat pagimu, membaca kalimat “jangan lupa makan, awas maag”-mu, dan sleeptight di penghujung malamku, itu kebahagiaanku. Entah, kenapa aku terjatuh justru pada hal yang sangat sederhana seperti ini, tak berharap apapun, tak memiliki ekspektasi apapun. Berkali aku menyesali kenapa tidak sempat mengabadikan foto kita berdua saat bertemu kali pertama itu, aku terlalu gugup untuk berfoto berdua bersamamu.
Bulan berlalu, aku mulai sedikit rewel, seperti bayi yang baru tumbuh gigi, seperti bayi yang kesusahan memulai tidurnya, seperti bayi yang hendak disapih oleh ibunya. Aku benar-benar tak mudah dimengerti, sering sekali marah, sering membuatmu pusing ku rasa, kamu lelakiku yang sabar hanya saja terlalu kaku dan keras kepala. Kamu lelakiku yang hebat, lelakiku yang susah diyakinkan. Lelakiku yang mempunyai pendirian kuat. Kamu lelaki manis kesayanganku yang terlahir di hari ke 31 bulan Agustus, yang berkepribadian plegmatis, dan bergolongan darah B. AKU MENYAYANGIMU.
Dan, sampai hari yang membahagiakan itu datang lagi, kamu menemuiku lagi. Tuhan, aku sangat bahagia hari itu, bisa pergi berdua bersamamu. Berlibur berdua denganmu, merasakan indahnya kotaku denganmu di sampingku. Meskipun terbatas waktu. Ya, kamu harus cepat pulang hari itu.
Di kebun binatang kotaku, kita berjalan berdua, bergurau, tertawa. Bahagia.  Merengek manja saat kau paksa makan kue yang dibawakan ibumu, membuatmu menyuapiku dengan malu-malu. Minum satu botol minuman denganmu, itu indah, indah sekali. Ketakutan sendiri saat masuk ke rumah hantu mainan itu, membuatku memegang erat lenganmu, berlindung diantara punggung dan bahumu, membuat tanganmu kembali mengusap rambut dikepalaku, aku takut campur bahagia dan berdebar hebat saat itu. Berjalan lagi, kita berdua naik di kereta itu,kereta yang membawa penumpangnya keliling beberapa kompleks tempat hewan-hewan yang bisa disuapi manja beberapa potong wortel dari tangan kita. Tertawa berdua menyadari ada unta yang menjulangkan mulutnya kearahku, aku takut, mundur-mundur perlahan ke arahmu, takut-takut tertawa berdua denganmu.
Beralih lagi, berpindah melihat atraksi singa laut disana. Disitu ku beranikan diri meminta foto, foto kita berdua. Genggaman tangan itu benar-benar berarti, sangat. Lebih dari apapun. Foto yang ku rasa kaupun malu-malu melakukannnya, tersenyum manis di depan kamera, di depan kaca besar ada singa atau macan atau apalah itu, biar saja mereka lihat, aku sedang bahagia-bahagianya bersandar di bahumu, dan kamu mengusap lembut kepalaku lagi, demi apapun Tuhan, aku ingin bersamanya lebih lama lagi.
Akhirnya, setelah hampir satu tahun kita berkenalan, hampir  7 bulan kita dekat aku bisa mempunyai dokumentasi foto berdua denganmu.
Sampai hari ini,  kamu sedikit berubah, entah karena mungkin hari itu aku meminta kau lepaskan atau karena hal lain. Hal lain tentang ujian-ujian stase kedokteranmu itu. Aku juga berusaha, berusaha pelan-pelan menjauh. Karena aku tahu, kamu mungkin juga tidak akan sepenuhnya menjadi milikku. Orangtuamu, faktor orangtua lagi, perjodohan lagi. Entahlah Tuhan, nanti aku hanya ingin jadi perempuan mapan, yang nanti sampai pada akhirnya tidak ada lagi yang berani menolakku untuk menjadi menantunya, ibu dari cucu-cucu mereka. tak  apa aku kamu sembunyikan dulu, aku paham. Aku mencoba mengerti lebih dalam lagi.
Aku sering dianggap bodoh oleh orang-orang yang mengetahui cerita ini, peduli apa, aku yang menjalani, sejatinya logika seseorang memang mati saat harus menyayangi seseorang, aku tahu kemana arahnya, aku tahu harus bagaimana. Sudahlah, aku hanya ingin bersamamu, selama kita masih punya waktu. Masih bisa menjalani ini berdua, sampai batas waktu yang diam-diam ku tentukan sendiri. Kamu harus percaya aku bisa sembuh sendiri, jangan terlalu memikirkan bagaimana nantinya aku bisa berjalan lagi, hanya, percayalah padaku, aku hanya ingin bersamamu.
Aku hanya ingin bersamamu lebih lama lagi, meskipun akhirnya kamu harus ku lepaskan, aku tahu pasti akan sakit, tapi selama aku bisa, selama kamu masih bisa bersamaku. Aku hanya ingin pulang, menujumu. Kamu.
Berubahlah, tak apa-apa, selama yang dimaksud ALLAH itu kamu, kamu pasti kembali, menemukan jalan pulang yang paling tepat.
Semua yang terjadi itu karena sebuah alasan bukan ? aku ikhlas. ^^




-Rezha Alivia Hildayanti-
7.54 pm
Kediri, 11 April 2014