Wednesday 2 July 2014

would it make you feel better to watch me while i bleed?



Skies are crying, I am watching
Catching teardrops in my hands
Only silence as it’s ending, like we never had a chance
Do you have to make me feel like there is nothing left of me?

You can take everything I have, you can break everything I am.
Like I’m made of glass, like I’m made from papper.
Go on and try to tear me down, I’ll be rising from the ground like a skyscraper!

As the smoke clears
I awaken and untangle you from me
Would it make you feel better to watch me while I bleed?
All my windows still are broken but I’m standing on my feet…


Helo Surabaya, selamat pagi… ^^
Kadang kebenaran yang kamu dapati itu memang selalu menyesakkan ya?
Yasudah~ lalu kamu mau berbuat apalagi selain mengikhlaskan dan membiarkannya berlalu?
Berdamailah dengan masa lalu, barangkali hanya itu yang bisa kamu lakukan.
Masa depan dengan janjinya yang begitu menyilaukan sudah duduk manis menanti genggaman tanganmu.
Jangan jatuh, jangan jadi lemah.
Orang besar tidak terlahir dari masalah kehidupan yang sederhana.
Percaya saja, semua terjadi karena DIA mengizinkannya terjadi.
Semua sudah terbagi, sudah rata.
Hahaha, sakit memang, sangat sakit.
Tapi, apa kamu harus menyerah dan merendah karena itu?
Kamu tidak begitu saja sampai di tahap ini, perjuanganmu sudah lebih dari kemarin.
Tetaplah berjalan,
Lelaki seperti dia mungkin hanya tidak tahu seberapa beruntungnya dia mendapatkan rasa sayangmu.
Jika bicara tentang adil,
Adilkah dia yang datang dan memberi rasa sayang tapi dengan mudah berlalu?
Tidak.
Tapi apa hanya karena tidak adil itu kamu jadi merasa harus bisa menandinginya?
Yaaa, jangan. Jangan dibalas, biarkan tangan-Nya saja yang bekerja.
Jadilah kuat, kuat berdiri sebagai yang kuat.
Jangan lemah, jangan melemah.
Mungkin perempuan itu ter’istimewa’ sedangkan kamu hanya biasa saja, lalu mau minta apa?
Haha, ya, aku memang biasa, biasa saja.
Tapi, apa kalian tidak tahu? Atau tidak pernah mendengar? Mutiara.
Dimanapun dia berada, di kubangan sekalipun, dia tetap MUTIARA.
Yang meski redup tapi tetap cantik, yang meski tersimpan dalam tapi selalu diinginkan.
Ini adilkan Tuhan?
Aku sudah mendoakan semua kebaikannya, lalu untuk apa aku kesal saat melihat dia tersenyum bahagia bersama perempuan itu?
Apa aku munafik?
Se-munafik itukah aku?
Ikhlaskan, lapangkan.
Jangan buat aku menjadi pendendam, jangan buat aku menjadi makhluk-Mu yang lupa apa itu munafik.
Kamu tahu, pasti kamu sangat tahu.
Aku bukan perempuan yang dengan mudah menjatuhkan hatiku,
Tapi dengan sederhananya kamu datang.
Kamu juga pasti tahu, sangat tahu.
Aku tidak pernah berharap sekalipun menjadi teristimewa untukmu.
Aku tidak pernah menuntutmu menjadi apapun.
Dari seorang teman aku sadar, mungkin keikhlasan dan penerimaan apa adanya belum cukup digunakan dalam suatu hubungan yang sudah jelas akhirnya akan bagaimana.
Katamu, akhirnya pasti juga akan berpisah.
Sudahlah, sudah. Sudah.
Bolehkah aku menghapus saja memori yang kemarin itu ya Tuhan?

Hah~ Tuhan, Kau pasti sekarang sedang melihatku.
Cerita yang Kau tulis ini begitu indah :’) Terimakasih telah memilih aku menjadi pemeran utama yang seperti ini.

Tuhan, Kau pasti sedang melihatku saat ini.
Sekali lagi aku memohon, kirimkan satu saja lelaki baik hati yang selama ini Engkau simpan itu, mungkin aku belum cukup baik, maka izinkan dia yang memperbaikiku, izinkan dia yang bisa menggenggam tanganku sampai aku mati, izinkan lelaki itu datang, jangan dibiarkan pergi bahkan hilangkan niatnya untuk meninggalkan. Aku memang tidak sempurna, biarkan dia yang menyempurnakan.
Dia yang bisa jadi teman, jadi sahabat, jadi kekasih, jadi ayah, jadi apapun. Izinkan dia datang, izinkan dia menemaniku. Izinkan melalui dia aku bisa menunaikan ibadahku.




Tuhan, Kau pasti mendengarku saat ini.
Sekali lagi aku memohon, betapa dengan tak punya malunya aku memohon, jadikan aku kuat, izinkan aku membahagiakan mereka dan jangan jadikan aku pendendam. Ajari aku ikhlas itu, sekali saja biarkan aku berusaha untuk menjadi lebih baik. Bahagiakan dia, maafkan amarahku yang tidak tahu arah, jangan biarkan aku seperti itu.

Tuhan, Kau pasti melihat dan mendengarku saat ini.
Tolong, maafkan semua kesalahan itu, kekhilafan itu, kebodohanku, ketidaktahuanku, kemunafikanku. Maafkan semua yang pernah ku lalui dan aku hampir melupakanMu. Maafkan kesombonganku. Maafkan semua tabiat burukku. 

Surabaya, 3 Juli 2014
10.05am




Monday 26 May 2014

fighting!

Malang, 26 May 2014
Semuanya sudah berakhir. Tuhan, bahagiakan dia. Lindungi dan selalu bimbing langkahnya.
Aku ikhlaskan sesuatu yang bukan diciptakan untukku, datangmu itu sebuah pelajaran. Entah sebagai apapun dalam kehidupanku atau kehidupanmu, kamu tidak pernah ku sesali.
Maafkan aku. Maaf, jika selama ini denganku kamu tidak bahagia, mungkin dengan begini kamu bisa bahagia yang juga bisa membahagiakan orangtuamu. Aku bukan perempuan baik, aku tahu itu, lalu untuk apa aku berharap diberi lelaki baik ? naĂŻf.
Jangan menoleh lagi ya, bukankah kamu yang sekarang jauh lebih bahagia. Mungkin dia yang bisa menyamankanmu.
Aku tidak akan bertanya-tanya lagi kenapa semua ini harus terjadi. Aku hanya perlu tetap kuat dan tegar, entah bagaimanapun caranya.
Jangan menemuiku lagi seperti katamu waktu itu. Aku sungguh sungguh sungguh tidak ingin. Aku takut, takut kembali menyayangimu, jelas sudah tidak ada jalan.
Aku tidak pernah meminta kamu datang, tidak pernah meminta apapun. Semuanya takdir, aku bisa apa selain menjalaninya ?
- Dan bila kau harus pergi jauh dan tak ‘kan kembali, ku akan merelakanmu bila kau bahagia, selamanya, disana, walau tanpaku. Ku akan mengerti dengan semua yang terjadi, pastikan saja langkahmu tetap berarti.
- Aku bisa tanpamu, aku sanggup tanpamu.
- Ku akan pahami dengan apa yang terjadi, pastikan saja mimpimu tetap berarti.
- Aku tak pernah mengharap kau ‘tuk kembali saat kau temukan duniamu. Aku tak pernah menunggu kau ‘tuk kembali saat bahagia mahkotamu, bila kedamaian selimutmu, jangan kau kembali.
Yaa, seperti itulah, jangan datang lagi, jangan menemuiku lagi, jangan menghubungiku lagi. Lupakan aku, lupakan semuanya. Tidak ada perempuan bodoh yang terlahir di 28 Agustus itu, yang bergolongan darah B itu, yang sama plegmatisnya denganmu, yang katamu sama, yang katamu pernah menyamankan, yang mungkin dulu pernah kau tunggu, anggap aku hanya figuran, yang hanya menumpang lewat di kehidupanmu, meskipun sebenarnya yang menyentuh hidupku lebih dulu adalah kamu. Aku tak menyesaliya, sama sekali tidak. Ini takdir, sudah harus begini ceritanya. Sudah harus begini akhirnya.
Tidak banyak orang tahu aku ini seperti apa, terserah penilaian mereka, aku lelah. Lelah sekali.
Tuhan, jika diijinkan, jika diperbolehkan, jangan biarkan aku melemah seperti ini terus menerus, dia, mereka tidak boleh tahu aku terlalu lemah menghadapi ini.
Aku bisa berusaha berdiri lagi, aku bisa berlari lagi.
rencanaMu jauh lebih indah aku tahu itu J
DINI HARI-
Rezha Alivia Hildayanti.





over here!

Trenggalek, 20 May 2014
Selamat malam Kota yang sepi. Kota tempat pertama kali aku merasa benar-benar linglung dan jatuh…
Bukan, ini bukan karena Kotanya.
Ini karena aku. Aku sendiri.
Kalian masih ingat tentang “Entah” yang aku tulis dan postingkan beberapa saat lalu ? yaa- ini masih tentang lelaki terakhir yang aku tulis disana.
Tuhan sepertinya memang Maha Adil, Dzat yang selalu mendengar setiap do’a. Beberapa waktu lalu aku berdo’a. Jika memang kamu lelaki yang selama ini Dia maksud tolong dekatkan dan ridhoi serta halalkan, jika tidak maka jauhkan, jauhkan dengan caraMu, jauhkan sejauh yang bisa membuatku lupa, ikhlaskan saat harus melepas, kuatkan saat harus memulai berjalan sendiri.
Yaa- Tuhan mendengar dan mengabulkan, entah ini akhirnya atau awalnya atau apa.
Sore itu, kata hatiku membawa empunya menemui sebuah fakta, fakta yang mungkin aku sendiri belum cukup kuat mengetahuinya. Sampai saat inipun masih terasa sesak dan perih jika mengingat.
Kamu bilang, dia bukan siapa-siapa, hanya anak seorang teman ayahmu. Hanya seorang perempuan yang mungkin pada akhirnya akan dijodohkan denganmu. Semalaman membaca pesan singkatmu, aku kalut. Gemetar di seluruh tubuhku. Menangis. Merenung. Asam lambung yang sudah naik sejak beberapa hari tiba-tiba semakin maksimal malam itu, muntah. Keringat dingin. Menatap nanar layar televisi di kamar kosku, memeluk guling. Menangis lagi. Semua pesan singkatku itu akhirnya membawamu menghubungiku. Berdebat. Aku tidak pernah menyalahkan kenapa harus ada dia, hanya kenapa kamu menutupinya. Entah tidak tega atau apa, aku yang ku rasa sudah tidak waras subuh itu gegabah memutuskan menemuimu di Kota itu. Kota yang sama sekali belum pernah ku datangi. Mandi, muntah lagi. Bersiap. Diantarkan seorang teman menuju perempatan dekat rumah kos untuk menumpang sebuah bus. Saat mereka bertanya “kamu mau kemana ?” ku jawab saja “minta pisah.” Hening. Kamu melarang, mengeluarkan berbagai pesan yang menyesakkan “aku itu sayang sama kamu” “aku juga masih sayang” “aku ngga tega” “aku ngga mau kamu kenapa-kenapa” dan sebagainya. Cukup. Mungkin aku lelah, kalut setengah mati. Di dalam bus itu, aku hanya menatap keluar jendela, bingung memikirkan aku ini mau kemana, aku ini mau apa, nanti jalannya kemana. Seperti orang bodoh yang nekat tetap berangkat. Turun di sebuah kota, menumpang bus yang lainnya lagi. Panas. Tapi sesak di dada lebih membuncah, dia lebih panas lagi. Tepat kurang lebih 3,5 jam akhirnya sampai juga aku disana, turun tanpa tahu harus kemana, sudah bosan bertanya pada orang-orang dalam bus sesak itu. Turun saja, menyebrang jalan menggandeng nenek-nenek tua yang kebingungan itu. Duduk di halte bus panas dan berdebu itu, di depan rumah sakit umum daerah. 5 menit kemudian kamu muncul, berjalan, tersenyum, dan bertanya dengan nada cemas-cemas marah :
“kamu naik apa ?”
“naik elang” ku jawab sekenanya. Nyengir.
Peluhmu berjatuhan, rasanya ingin ku usap, ingin ku peluk saja tubuh itu, kalau saja itu bukan tempat umum, mungkin aku sudah memelukmu dan mungkin saja menangis. Tapi sayang, di depanmu aku tidak bisa menangis, bukan, aku tidak mau menangis. Aku tidak mau dianggap lemah.
Penjelasanmu panjang sekali, dari A-Z. Sejak kiriman coklatku datang, dan orang-orang satu igd ikut memakannya, dan kotak coklat yang ku berikan kamu bawa pulang sejak itulah orangtuamu mulai over protektif. Mulai kisruh mencarikanmu pasangan yang lebih “cocok” atau “sepadan”. Ya Tuhan, apa salahnya menjadi biasa ? kenapa harus diremehkan ? aku hanya bisa tersenyum mendengarnya, kesal sedikit, tapi sudah malas menanggapi. Hari itu aku memang tidak ingin kau bawa masuk ke area rumah sakit itu, aku tidak ingin mereka membicarakanmu lagi, aku tidak ingin menjadi penyebab masalah lagi, aku tidak ingin bapakmu tahu aku disana, aku tidak ingin dia menarikmu pergi dariku atau parahnya menyuruhku pulang saja. Kita memutuskan pergi dari halte itu, duduk di jok belakang motormu. Menuju tempat makan entah itu apa namanya. Duduk berdua, mulai berbicara, berdebat, mendengarkan penjelasanmu. Aku sudah lelah, aku hanya ingin dilepas hari itu, aku hanya ingin terlepas. Aku memang sayang, tapi aku bukan perempuan bodoh, aku tidak mau dianggap bodoh, dengan bersamamu saja banyak yang mengira aku ini bodoh jadi untuk apalagi aku kesana selain minta agar kita segera diakhiri.
Aku tidak mendapatkan jawabanmu hari itu, kamu tidak mengiyakanku, sama sekali tidak. Tak juga menolak berkata tidak lalu menahanku, tidak.
Aku juga tidak ingin memaksa. Hari itu aku hanya ingin punya kenangan yang sedikit lebih manis meskipun akhirnya kita berpisah. Kamu masih mengusap lembut rambutku, masih menatap dalam jauh ke mataku, masih menyuapiku. Haha, aku memang minta kusukan itu dan minta kamu suapi, karena nanti aku tidak akan meminta lagi.  
Kita memang harus berpisah sepertinya, aku tidak akan memaksamu untuk memperjuangkanku, mungkin aku belum cukup pantas disebut menantu oleh bapak ibumu. Aku belum punya apa-apa.
Mungkin perempuan itu, perempuan tepat pilihan ibumu, yang mungkin ibumu sudah percaya ia bisa mengerti apapun yang kamu inginkan, bahkan mengingatkanmu makan saat dia sedang marah, atau membangunkan dan mengucapkan selamat tidur meskipun hatinya sedang kau buat panas, seperti siapa ? sepertiku, ah aku tidak cukup baik menurut mereka.
Kemanapun aku pergi, dimanapun nantinya aku akan bekerja, saat kamu ingin bertemu denganku, saat kamu merindukanku, kamu tidak peduli apapun, yang kamu mau aku harus bisa bertemu denganmu saat itu, entah kapan itu. Selama aku belum menikah atau belum punya pendamping baru.
Memang aku masih mau ?
Haha~ entah, aku merasa sudah mati saat itu, tidak bisa berpikir lagi.
Kembali duduk di jok belakang motormu, bertanya :
“apa kita nanti masih bertemu lagi ?”
Demi langit, aku mengeluarkan pertanyaan itu sungguh hanya untuk nanti, nanti setelah kamu mengantarku ke rumah sakit itu untuk menemui temanku yang lain, aku tidak pernah menanyakan mungkinkah “nanti” kita dipertemukan lagi, aku tidak ingin berpikir mengenai itu.
“kita pasti ketemu lagi ko”
Tersenyum, bodoh, aku tidak peduli lagi dengan “nanti” aku sudah memutuskan untuk tidak lagi.
Kamu masih menyodorkan tanganmu, seperti anak yang salim pada ayah ibunya sebelum pamit pergi, masih ku cium tangan itu, dan masih juga kau berikan sentuhan halus di tanganku, ku lepas genggamanmu, aku tidak ingin kau genggam terlalu lama, tidak mau.
Pamit. Aku berjalan tanpa menoleh lagi, kamu masih memandangi punggungku, seperti yang selalu kamu lakukan setiap kali kita berpisah saat bertemu.
Aku tidak ingin menoleh. Sama sekali tidak ingin.
Berjalan gontai setengah tidak percaya semua ini memang sudah berakhir tapi ini keputusanku, ini keinginanku, lalu apa yang harus ku sesali ?
Di kantin rumah sakit itu aku duduk sendiri, ada beberapa gerombol mahasiswi berpakaian putih-putih disana, aku berpura saja bukan sebagai tenaga kesehatan, memasang earphoneku, mendengarkan lagu-lagu mendayu dari handphoneku sambil menunggu teman itu.
Setelah bercerita dan mengobrol banyak dan sholat dzuhur aku memutuskan pulang, pamit melalui pesan singkat itu.
Menaiki lagi bus sesak itu, turun dan berganti bus, seperti orang bodoh yang baru pertama kali berkunjung ke kota itu, mencari bus lain untuk diantarkan menuju kota tempatku menuntut ilmu. Aku masih ingat sopir bus dan keneknya senja itu selalu ramah padaku, memberikan tempat duduk di dekatnya saat aku berdiri kebingungan mencari tempat duduk, tak hentinya mengajakku bercerita, mereka baik.
Sampai di kosku pukul 7 malam, mereka sahabat-sahabatku membelikanku makan, jangankan makan, meliriknya saja aku enggan. Bodoh. Yaa, aku memang bodoh. Kenapa harus jatuh seperti ini, baru beberapa sendok ku makan sudah ku muntahkan semua, maka esoknya ku putuskan untuk tidak makan saja.
Hari sabtu itu, setelah jumat yang menyedihkan itu aku menuju kos temanku yang lain, berharap bisa menangis sejadinya disitu, bodohnya lagi ada jadwal ujian hari itu, aku tidak peduli aku hanya ingin menangis. Hampir 2 jam menceritakan semuanya, 2 jam itu pula mataku membengkak, puluhan cc cairan keluar dari lubang hidung, berlembar tissue habis, sesak. Sesak sekali.
Untung saja Tuhan adil, meski linglung otakku selalu lebih cepat berlari saat harus menghadapi testnya, dia terus saja berusaha menjadi penguji terbaik saat diuji oleh dosennya hari itu. Aku berhasil. Syukur. Alhamdulillah.
Sore itu setelah ujian ibuku datang ke kota itu, dia menyempatkan menengokku, alasannya memberikan surat kehilangan surat tanda nomor kendaraanku, entah ibuku merasakan ada yang aneh atau tidak, setelah menjemputnya, saat tiba di rumah kosku, aku kembali menangis histeris. Tuhan, kenapa aku jadi segila ini, kenapa aku jadi selemah ini. Lebih kurang 2 jam lamanya menangis, aku tertidur dalam pelukan nyaman ibuku. Beliau tidak pernah menanyakanku kenapa aku menangis, beliau hanya membelai lembut rambutku dan ikut menangis. Ya Tuhan, aku lemah sekali.
Malamnya mamah mengajakku belanja, dibelikan apapun yang aku inginkan, dibelikan apapun yang mau aku makan tapi semuanya hambar. Biasa. Aku lemah.
Paginya lagi, minggu pagi. Mamah sudah membelikanku obat, aku harus meminumnya, aku beralibi. Malas meminum. Malas makan. Lemah.
Sore itu aku berangkat ke kota ini, kota yang 4 minggu ini harus dihabiskan dengan praktek seperti jaman diploma III dulu, bedanya disini saya menjadi pembimbing. Apa bedanya dengan dulu ? sama memakai putih-putih.
Disini, hari-hari pertama itu begitu menyesakkan, aku tidak pernah benar-benar sembuh. Perih mual muntah dan kesusahan tidur di malam hari. Makanan tidak pernah ada yang bisa masuk, tidur lebih cepat hanya mimpi, aku butuh obat tidur. Ya, aku terlalu lemah.
Sampai pada hari itu aku bangkit lagi, mencoba melupakanmu dengan semua usahaku.
Kamu tahu rambut panjangku ? dia habis sekarang, sama seperti hatiku yang kamu bawa pergi, rambut ini ku habiskan agar aku bisa memulai aku yang baru, melupakan semua kenangan itu.
Terimakasih kenangannya, aku tidak akan membencimu meskipun sudah ku coba, hanya biarkan aku berimajinasi bahwa kau memuakkan agar aku malas mendengar namamu, malas mendengar apapun tentangmu dan akhirnya tak mau lagi bertemu denganmu.
Yaa, aku sudah lelah, benar-benar tidak mengerti kenapa aku jadi begini. Maafkan aku.
01.23pm

Rezha Alivia Hildayanti. Perempuan yang katamu dulu selalu membuatmu nyaman. Dulu.

 im fine ^^

Hurt-

Kediri, 24 April 2014
Aku tidak akan mengumpulkan banyak pertanyaan lagi kenapa aku disakiti.
Aku, hanya butuh diam, memandangi langit-langit kamarku dan mungkin menangis terisak saja.
Aku, terlalu lelah untuk mencari-cari alasannya.
Terlalu malas meneliti lagi kenapa terjadi timbal balik yang begitu dahsyat serupa ini.
Aku memilih diam, menunggu dengan sabar apa maksud dan rencanaMu selanjutnya.
Aku, mungkin sudah mendapatkan yang layak aku dapatkan. Mungkin, aku bukan perempuan baik. Atau aku, terlalu bodoh.
Ah~ aku malas, memungkinkan semua kemungkinan yang sajaknya selalu babibu bebe bobo.
Sudahlah, pergilah.
Aku tak kan menyalahkan siapapun, terimakasih karena mungkin telah “menyayangiku” terimakasih tentang semua “kebohongan” ini, entah- siapa yang sebenarnya lebih dulu, aku kah atau dia kah, aku terlalu malas mencari pembenaran itu.
Tak perlu meminta maaf, aku sudah memaafkanmu.
Tak perlu menoleh, memikirkan aku lagi atau apalah itu.
Dia yang lebih kau banggakan, aku hanya perempuan biasa J mau minta apa ?
Dan aku tahu, semuanya pasti ada maksudnya kan J
Terimakasih ..
Terimakasih banyak J
Semoga kamu bahagia, dengan perempuan yang kamu pilih itu, yang kau banggakan itu.
Cukup.
Jangan lagi genggam tanganku, temui atau apapun itu. Jika itu semua hanya karena rasa bersalahmu.
aku baik. Cukup baik. Dan aku akan selalu baik-baik saja.
Semoga semua yang pernah terjadi bisa kita kubur dalam-dalam seandainya memang harus.
Ku lepas kamu karena aku tahu, mungkin senyum bahagiamu kini bukan bersumber dariku.
Pergilah, sejauh apapun itu. Pergi saja..
Terimakasih.
Terimakasih banyak…


Friday 11 April 2014

-- Entah --



Kediri, 10 April 2014
9.04pm, di kamar yang katanya nyaman. Di kota tempat pelarian yang menghabiskan banyak uang..

Aku, pernah sangat yakin pada keajaiban yang pernah dikatakan oleh seorang pemuda peralihan yang mengaku dia dewasa.
Pernah sangat berharap bahwa hidupku akan terus berpangku terdiam menanti datangnya kembali takdir sang Kuasa. KeajaibanNya.
Pernah jatuh teringsut di sudut cerita paling ringkih yang pernah ada.
Bodohnya meninggalkan seseorang yang benar-benar menyayangiku lagi hanya demi dia, pemuda peralihan. Tidak, aku tidak pernah mau menyalahkannya, dia yang katanya masih senang dengan masa sendirinya, tapi beberapa bulan setelah dia berkata seperti itu, dia malah beralih menuju daun segar lainnya. Ya, takdir dan cerita memang tak selalu indah, kalau indah-indah saja namanya bukan hidup, itu hanya dongeng klasik ala-ala yang dibuat-buat, tidak nyata.
Aku, pernah dengan sombongnya meninggalkan, tak sadar, betapa perihnya kehilangan, betapa menyakitkannya ditinggalkan, dengan atau tanpa sebab yang namanya perpisahan bukan hal mudah dan simple layaknya 1+1=2, ini bukan perkara matematika yang sudah pasti angkanya, ini kehidupan.
Bukan tanpa sebab saat harus menghadapi pahitnya mengkhianati dan akhirnya dikhianati lantas dengan sejuta alasan membuat keputusan bahwa sudah tidak ada jalan lagi untuk cerita kita, untuk kamu dan aku. Sesederhana ucapan “Bapakku pengen aku nikah sama oranglain”. Bagai guntur, demi apapun hal itu benar-benar terucap olehmu. Kita berpisah, aku merelakanmu memilih orangtuamu, karena aku tahu, aku bukan mereka, anak orang berada dengan banyaknya fasilitas dan uang yang bisa asal tunjuk lalu dapat atau hanya perlu merengek dua kali dihadapan ayah ibunya, aku berbeda, aku bukan mereka. Aku, hanya seorang gadis biasa saja yang katamu dulu selalu kau sayangi, yang katamu dulu meskipun saat nyawamu sudah naik dan ragamu membiru siap ditimbun dibawah tanah kamu masih ingin bersanding di sebelahku, kamu ingin dimakamkan di sampingku. Tapi itu dulu, hanya sebuah bualan remaja lelaki yang sudah hampir habis usia remajanya. Sejak kau berkata kau mati rasa, aku mundur, aku merasa lebih baik pergi, dengan sombongnya berkata dalam hati mertua mana yang berani menolak seorang gadis berpendidikan, cantik dan bermasa depan cemerlang. Aku pergi. Mengubur semua mimpi dan khayalan kita, yang bermalam-malam lalu pernah menguar di langit-langit kamar, kamar kos, kamar tempatku selalu menangis sedih memelukmu saat semua masalah kehidupan antri. Saat tidak ada tempat berlari paling aman dan nyaman menurutku. Pelukmu, dadamu, belaianmu, semuanya sempurna. SEMPURNA.
Tapi, itu dulu. DULU.
Sudah setaun yang lalu semua ku akhiri, cerita rumit yang melilit antara aku, kamu dan mantan kekasihku yang sudah jelas semua orang tahu dia sahabatmu. Dia, pemuda peralihan itu. Dia yang pernah dengan sederhananya membuatku melepaskan kekasih 3,5 tahunku, hanya karena rasa sayang. SAYANG ? Mungkin itu hanya penasaran, rasa penasaran yang kamu sendiri bahkan tidak akan pernah tahu ujungnya. Sampai kau dapati, lelaki itu tidak pernah benar-benar menyayangimu. Tidak benar-benar.
Semuanya berakhir. Bukan hanya aku dan kamu. Aku dan diapun juga.
Selesai.
Kalian tahu, entah angin mana itu yang membawa aku menjadi perempuan seperti ini, menutup hatinya rapat. Pernah beberapa kali dicoba dan itupun selalu gagal. Faktornya bukan lelaki-lelaki malang itu, lagi-lagi aku lagi. Aku lagi yang menyakiti, tidak mempersiapkan hati. Belum sadar usianya sudah kepala dua, mau saja didekati lelaki kanan kiri, tidak berpikir akan jadi apa. Yang disadari hanya dia butuh hiburan dari luka-luka kemarin.  Luka-luka yang semakin menganga saat menyadari ada perempuan lain yang saat itu mulai membelaimu, dia bukan perempuan anak juragan kaya pilihan bapak ibumu, dia temanmu, sahabatmu kata mereka. Aku bukan perempuan yang sebodoh itu, sudah jelas, sahabat dan teman atau sayang yang lebih bisa dibedakan hanya dengan tatapan mata. Aku tahu itu. Tapi, terlalu munafik jika aku harus mengumpat kalian, sudahlah, ini takdirku. Mungkin, ini balasannya. Bukannya pemegang nyawa kita adalah Dzat yang paling adil. Lebih baik berpikir bagaimana caranya sembuh daripada harus mengutuk perbuatan kalian, karena aku tahu, salahku juga selalu menyakitimu.
Dan sejak hari itu aku memilih meringankan kakiku berjalan sendiri. Aku mulai bisa berjalan lagi, sedikit tertatih, tapi aku bisa, yakini bisa melangkah diatas kedua kakiku sendiri.
Sebenarnya lelaki baik hati ini sudah hadir tepat beberapa minggu setelah aku memutuskan meninggalkan kalian berdua. Tapi mungkin kehadirannya itu hanya sepenggal cerita permulaan, mungkin Tuhan mengizinkanku mendamaikan hati dulu sebelum akhirnya jatuh menggelayut paling dalam dihati lelaki itu, karena mungkin Tuhan sudah merencanakan sakit yang ku tanggung akibatnya lebih dahsyat dari apapun. Dari yang kemarin-kemarin.
Sudah berbulan mengenal, berbincang akrab layaknya teman lama yang terpisahkan. Sedikit jauh lalu mendekat menjauh dan mendekat. Sampai pada waktu itu kamu mendekat, mengakrabiku lagi. Saat itu entah takdir atau apa aku menjawab sapaanmu, sapaan dan ucapan maaf khas hari raya lebaran fitri. Kita mulai berbincang lebih akrab lagi, lewat pesan singkat di telepon genggam cerdas yang kini pasaran dimiliki setiap orang. Entah nyaman mana yang mengikutimu saat itu,nyaman apa yang berusaha menembus dinding kokoh pertahananku dalam masa penyembuhan. Kamu hadir, cemerlang. Mengisi setiap hariku, dengan sapaan khas yang hanya aku yang mengerti maksudmu, dengan banyak pesan-pesan singkat itu. Kau datang, nyata dalam memoriku. Seolah sebagai penyelamat atau mungkin hanya perantara. Percaya atau tidak, hanya kamu lelaki yang datang dan aku tak pernah membayangkan mendapat sesuatu yang lebih darimu. Sungguh, saat itu aku terlalu bodoh untuk memahami dan berharap lagi. Aku membiarkannya mengalir tanpa pernah tersadari akhirnya aku jatuh hati lagi. Sudah lama rasanya tak secepat itu menyayangi. Akhirnya aku menyayangi lagi, menyayangimu.
Aku benar-benar merasa bersyukur bisa dipertemukan denganmu waktu itu, aku merasa beruntung. Tuhan membawamu menemuiku, di kota kesayanganku yang istimewa. Kau datang tepat ditanggal 6 bulan sebelas. Tepat setelah kurang lebih hampir 9 bulan aku mengenalmu. Tepat kurang lebih 4 bulan setelah kita benar-benar dekat.
Hari itu, aku bahagia. Bahagia. Mungkin, hanya seluruh aspal jalanan yang tahu aku tersenyum gugup sepanjang perjalanan. Bingung membayangkan kalimat pertama yang akan ku sampaikan, bingung harus bersikap bagaimana di depanmu, bingung bagaimana rasanya saat harus menatap matamu dan berusaha mencari namaku disana. Aku gugup. Aku bahagia.
Mungkin kamu tidak akan pernah tahu, dua buah buku yang ku berikan padamu hari itu memang benar-benar ingin ku sampaikan padamu, aku ingin kau membacanya, agar saat kau benar-benar memulai profesimu kau masih bisa bersemangat, masih bisa tersenyum demi kebahagiaan orangtuamu, karena aku juga pernah di posisimu.
Maaf, sebelum akhirnya kau jujur mengatakan tentang profesimu, aku sudah beberapa langkah lebih tahu. Demi apapun, saat itu aku menangis, menangis sejadinya diatas kasurku lalu berpindah diatas sajadahku, bukannya sok suci atau alim. Aku hanya bingung, kenapa ALLAH mengirimkanku lelaki berprofesi sepertimu. Bukan profesimu yang buruk hanya saja aku yang terlalu kecil, terlalu kecil, dan takut. Ya, aku sadar diri. Posisi pekerjaanku berada di bawahmu, meskipun tidak semua Dokter itu pintar tapi tetap saja Bidan tidak lebih dari pesuruhnya. Entah semesta mana yang membuatku beringsut hari itu, aku sudah sadar sejak hari itu, bahkan takut lebih dulu. Takutnya bapak ibukmu juga menolakku. Aku sadar diri.
Hari itu, tengah hari yang panas, di sebuah pusat perbelanjaan di Kotaku motor hitamku meluncur menuju tempat parkirnya, aku berjalan menuju toilet terdekat demi mencuci tangan dan mengelap muka, membubuhkan bedak tipisku lagi dan memoles sedikit lipstick peach dibibirku. Aku berjalan lagi menuju sebuah café yang berada ditengah dua pusat perbelanjaan terkenal itu. Tapi apa kamu tahu aku tidak seberani itu langsung menemuimu, aku terdiam di depan toko aksesoris itu, terdiam memandangi telepon genggamku. Sampai akhirnya keberanianku membulat aku berjalan menuju ke arahmu. Aku lupa memakai kacamataku. Sedikit gugup melepas pandang ke seluruh penjuru tempat itu, ku dapati ada lelaki manis duduk di sudut tempat ini, memakai baju hitam dan berkacamata, dia tersenyum ke arahku. Dia itu kamu. Aku duduk di hadapanmu, memberanikan diri bertanya. Di hadapanku sudah ada susu coklat kesukaanku, kamu memesannya lebih dulu. Kamu tahu, saat itu, jangankan memandangmu untuk membuka sedotan dihadapanku dari bungkusnya pun aku gemetaran, aku sangat gugup.
Kita memulai berbincang, bercerita apapun yang bisa diceritakan. Saat pertama itu, aku merasa sangat nyaman berada di dekatmu, tidak pernah ku buat-buat, aku memang nyaman, makan siang satu meja, menatapmu malu-malu, melihatmu tersenyum, mendengar suaramu. Dengan bodohnya mencoret-coret partograf yang kau serahkan padaku, aku tahu maksudmu menunjukkan itu, tapi masa bodoh, aku tidak peduli profesimu, sejak awal kau bahkan tahu aku tidak pernah menyukai Dokter, Dokter Muda. Meskipun semua teman-temanku berlarian mengejar mereka, berharap ada satu saja yang menoleh kearah mereka atau sederhananya menjadikan mereka kekasihnya. Tapi aku tidak, dari awal aku memang enggan menaruh harap pada orang-orang itu. Setahuku dulu kamu hanya tenaga kesehatan yang sama sepertiku, hanya mas-mas perawat. Sayangnya, aku terlalu polos menyadari semua itu. Atau terlalu bodoh.
Kamu bercerita panjang lebar, tentang dirimu, kenapa tidak jujur soal profesi itu. Dan sebagainya dan sebagainya. Dan sampai pada hal, orangtua. Iya langit, dia berkata tentang ORANGTUA.
Seperti tidak tega melihatku, kata-katamu tak tersampaikan di tempat makan itu. Aku dengan asyiknya mengunyah makananku, kita bertukar makanan, melihat ekspresi kekenyanganmu yang memaksakan menghabiskan makanan itu, melihatmu mengunyah tomat segar dihadapanku. Itu menyenangkan. Menyenangkan.
Kita berdua pergi dari tempat itu, berjalan beriringan. Mungkin beberapa pasang mata sedang menyaksikan tapi aku tak peduli, aku lebih senang memilih mengoceh di sebelahmu. Naik lantai 3. Di depan 21, dengan bodohnya aku menolak ajakanmu. Aku menolak nonton berdua saat itu, dan itu salah satu penyesalan terbesarku, ku kira aku masih punya banyak kesempatan bersamamu, aku salah, aku keliru. Turun ke lantai dua. Masuk toko buku. Keluar. Berbincang di depannya, sibuk memperhatikan orang yang berlalu lalang, dan sibuk membicarakan mereka.  Dan turun lagi, lantai dasar. Kamu mengantarku ke tempat parkir motor hitamku yang manis, berjalan di belakangku. Membawakan tasku tanpa ku minta, memandangiku membuka jok motor dan memakai jaket dan akhirnya keluar kalimat-kalimat itu. Pamit. Itu katamu, aku tercengang, setengah tak percaya. Mungkinkah ? baru saja aku bisa tersenyum dan merasa diriku sudah kembali. Kamu tidak akan pergi, tetap di sampingku, hanya lewat pesan singkat, hanya lewat itu, tapi kamu berkata tak kan pergi, hanya aku harus memilih orang lain, kamu takut menyakitiku, kamu takut aku kecewa. Kamu meminta maaf lagi, maaf tidak bisa menghabiskan masa profesimu di Malang. Di kotaku. Bagiku, itu tidak masalah, sama sekali tidak. Dimanapun kamu, aku selalu sayang, selalu menunggu. Tapi, alasanmu ingin pelan-pelan menjauh dariku karena orangtuamu  yang membuat panas kedua mataku saat itu, aku hanya tak ingin tiba-tiba menangis di hadapanmu. Aku terdiam, berusaha tersenyum, berusaha mencari-cari lagi namaku di kedua bola matamu, ku pandang dalam-dalam, ku lihat erat-erat, sadar tak bisa memilikimu terlalu lama, aku masih berusaha tersenyum, berusaha mencari pembenaran hari itu. Kamu jujur, berkata menyayangiku hari itu saja bagiku sudah cukup, aku tak pernah menuntutmu jadi apapun sejak awal, tidak pernah berharap bisa mendampingimu dalam waktu lebih lama. Tidak peduli resikonya aku tetap pada pendirianku, masih ingin bersamamu. Sentuhan lembut tanganmu dikepalaku hari itu membuatku yakin, sebenarnya tanpa bertanyapun sudah jelas bagaimana hatimu. Perasaanmu. Aku masih ingat tawamu saat aku mengerucutkan bibirku manja, kau tertawa, di depanku. Rasanya aku ingin jam berhenti beberapa saat waktu itu. Ingin.
Pulang,
Aku bahagia, sebenarnya bercampur airmata sedih dan senang, susah dibedakan.
Kita tidak pernah benar-benar menjauh. Tidak pernah benar-benar mencoba melupakan. Justru aku merasa hari demi hari, bulan demi bulan aku semakin menyayangimu.
Bulan ke dua belas tahun lalu, aku menghitung sendiri. Aku hanya ingin bersamamu sedikit lebih lama, meskipun resikonya aku harus terluka. Ku tulis sendiri dan ku hitung sendiri, sisa berapa lama lagi aku bisa bermanja padamu, menunggumu pulang, membaca ucapan selamat pagimu, membaca kalimat “jangan lupa makan, awas maag”-mu, dan sleeptight di penghujung malamku, itu kebahagiaanku. Entah, kenapa aku terjatuh justru pada hal yang sangat sederhana seperti ini, tak berharap apapun, tak memiliki ekspektasi apapun. Berkali aku menyesali kenapa tidak sempat mengabadikan foto kita berdua saat bertemu kali pertama itu, aku terlalu gugup untuk berfoto berdua bersamamu.
Bulan berlalu, aku mulai sedikit rewel, seperti bayi yang baru tumbuh gigi, seperti bayi yang kesusahan memulai tidurnya, seperti bayi yang hendak disapih oleh ibunya. Aku benar-benar tak mudah dimengerti, sering sekali marah, sering membuatmu pusing ku rasa, kamu lelakiku yang sabar hanya saja terlalu kaku dan keras kepala. Kamu lelakiku yang hebat, lelakiku yang susah diyakinkan. Lelakiku yang mempunyai pendirian kuat. Kamu lelaki manis kesayanganku yang terlahir di hari ke 31 bulan Agustus, yang berkepribadian plegmatis, dan bergolongan darah B. AKU MENYAYANGIMU.
Dan, sampai hari yang membahagiakan itu datang lagi, kamu menemuiku lagi. Tuhan, aku sangat bahagia hari itu, bisa pergi berdua bersamamu. Berlibur berdua denganmu, merasakan indahnya kotaku denganmu di sampingku. Meskipun terbatas waktu. Ya, kamu harus cepat pulang hari itu.
Di kebun binatang kotaku, kita berjalan berdua, bergurau, tertawa. Bahagia.  Merengek manja saat kau paksa makan kue yang dibawakan ibumu, membuatmu menyuapiku dengan malu-malu. Minum satu botol minuman denganmu, itu indah, indah sekali. Ketakutan sendiri saat masuk ke rumah hantu mainan itu, membuatku memegang erat lenganmu, berlindung diantara punggung dan bahumu, membuat tanganmu kembali mengusap rambut dikepalaku, aku takut campur bahagia dan berdebar hebat saat itu. Berjalan lagi, kita berdua naik di kereta itu,kereta yang membawa penumpangnya keliling beberapa kompleks tempat hewan-hewan yang bisa disuapi manja beberapa potong wortel dari tangan kita. Tertawa berdua menyadari ada unta yang menjulangkan mulutnya kearahku, aku takut, mundur-mundur perlahan ke arahmu, takut-takut tertawa berdua denganmu.
Beralih lagi, berpindah melihat atraksi singa laut disana. Disitu ku beranikan diri meminta foto, foto kita berdua. Genggaman tangan itu benar-benar berarti, sangat. Lebih dari apapun. Foto yang ku rasa kaupun malu-malu melakukannnya, tersenyum manis di depan kamera, di depan kaca besar ada singa atau macan atau apalah itu, biar saja mereka lihat, aku sedang bahagia-bahagianya bersandar di bahumu, dan kamu mengusap lembut kepalaku lagi, demi apapun Tuhan, aku ingin bersamanya lebih lama lagi.
Akhirnya, setelah hampir satu tahun kita berkenalan, hampir  7 bulan kita dekat aku bisa mempunyai dokumentasi foto berdua denganmu.
Sampai hari ini,  kamu sedikit berubah, entah karena mungkin hari itu aku meminta kau lepaskan atau karena hal lain. Hal lain tentang ujian-ujian stase kedokteranmu itu. Aku juga berusaha, berusaha pelan-pelan menjauh. Karena aku tahu, kamu mungkin juga tidak akan sepenuhnya menjadi milikku. Orangtuamu, faktor orangtua lagi, perjodohan lagi. Entahlah Tuhan, nanti aku hanya ingin jadi perempuan mapan, yang nanti sampai pada akhirnya tidak ada lagi yang berani menolakku untuk menjadi menantunya, ibu dari cucu-cucu mereka. tak  apa aku kamu sembunyikan dulu, aku paham. Aku mencoba mengerti lebih dalam lagi.
Aku sering dianggap bodoh oleh orang-orang yang mengetahui cerita ini, peduli apa, aku yang menjalani, sejatinya logika seseorang memang mati saat harus menyayangi seseorang, aku tahu kemana arahnya, aku tahu harus bagaimana. Sudahlah, aku hanya ingin bersamamu, selama kita masih punya waktu. Masih bisa menjalani ini berdua, sampai batas waktu yang diam-diam ku tentukan sendiri. Kamu harus percaya aku bisa sembuh sendiri, jangan terlalu memikirkan bagaimana nantinya aku bisa berjalan lagi, hanya, percayalah padaku, aku hanya ingin bersamamu.
Aku hanya ingin bersamamu lebih lama lagi, meskipun akhirnya kamu harus ku lepaskan, aku tahu pasti akan sakit, tapi selama aku bisa, selama kamu masih bisa bersamaku. Aku hanya ingin pulang, menujumu. Kamu.
Berubahlah, tak apa-apa, selama yang dimaksud ALLAH itu kamu, kamu pasti kembali, menemukan jalan pulang yang paling tepat.
Semua yang terjadi itu karena sebuah alasan bukan ? aku ikhlas. ^^




-Rezha Alivia Hildayanti-
7.54 pm
Kediri, 11 April 2014