Monday 26 May 2014

fighting!

Malang, 26 May 2014
Semuanya sudah berakhir. Tuhan, bahagiakan dia. Lindungi dan selalu bimbing langkahnya.
Aku ikhlaskan sesuatu yang bukan diciptakan untukku, datangmu itu sebuah pelajaran. Entah sebagai apapun dalam kehidupanku atau kehidupanmu, kamu tidak pernah ku sesali.
Maafkan aku. Maaf, jika selama ini denganku kamu tidak bahagia, mungkin dengan begini kamu bisa bahagia yang juga bisa membahagiakan orangtuamu. Aku bukan perempuan baik, aku tahu itu, lalu untuk apa aku berharap diberi lelaki baik ? naïf.
Jangan menoleh lagi ya, bukankah kamu yang sekarang jauh lebih bahagia. Mungkin dia yang bisa menyamankanmu.
Aku tidak akan bertanya-tanya lagi kenapa semua ini harus terjadi. Aku hanya perlu tetap kuat dan tegar, entah bagaimanapun caranya.
Jangan menemuiku lagi seperti katamu waktu itu. Aku sungguh sungguh sungguh tidak ingin. Aku takut, takut kembali menyayangimu, jelas sudah tidak ada jalan.
Aku tidak pernah meminta kamu datang, tidak pernah meminta apapun. Semuanya takdir, aku bisa apa selain menjalaninya ?
- Dan bila kau harus pergi jauh dan tak ‘kan kembali, ku akan merelakanmu bila kau bahagia, selamanya, disana, walau tanpaku. Ku akan mengerti dengan semua yang terjadi, pastikan saja langkahmu tetap berarti.
- Aku bisa tanpamu, aku sanggup tanpamu.
- Ku akan pahami dengan apa yang terjadi, pastikan saja mimpimu tetap berarti.
- Aku tak pernah mengharap kau ‘tuk kembali saat kau temukan duniamu. Aku tak pernah menunggu kau ‘tuk kembali saat bahagia mahkotamu, bila kedamaian selimutmu, jangan kau kembali.
Yaa, seperti itulah, jangan datang lagi, jangan menemuiku lagi, jangan menghubungiku lagi. Lupakan aku, lupakan semuanya. Tidak ada perempuan bodoh yang terlahir di 28 Agustus itu, yang bergolongan darah B itu, yang sama plegmatisnya denganmu, yang katamu sama, yang katamu pernah menyamankan, yang mungkin dulu pernah kau tunggu, anggap aku hanya figuran, yang hanya menumpang lewat di kehidupanmu, meskipun sebenarnya yang menyentuh hidupku lebih dulu adalah kamu. Aku tak menyesaliya, sama sekali tidak. Ini takdir, sudah harus begini ceritanya. Sudah harus begini akhirnya.
Tidak banyak orang tahu aku ini seperti apa, terserah penilaian mereka, aku lelah. Lelah sekali.
Tuhan, jika diijinkan, jika diperbolehkan, jangan biarkan aku melemah seperti ini terus menerus, dia, mereka tidak boleh tahu aku terlalu lemah menghadapi ini.
Aku bisa berusaha berdiri lagi, aku bisa berlari lagi.
rencanaMu jauh lebih indah aku tahu itu J
DINI HARI-
Rezha Alivia Hildayanti.





over here!

Trenggalek, 20 May 2014
Selamat malam Kota yang sepi. Kota tempat pertama kali aku merasa benar-benar linglung dan jatuh…
Bukan, ini bukan karena Kotanya.
Ini karena aku. Aku sendiri.
Kalian masih ingat tentang “Entah” yang aku tulis dan postingkan beberapa saat lalu ? yaa- ini masih tentang lelaki terakhir yang aku tulis disana.
Tuhan sepertinya memang Maha Adil, Dzat yang selalu mendengar setiap do’a. Beberapa waktu lalu aku berdo’a. Jika memang kamu lelaki yang selama ini Dia maksud tolong dekatkan dan ridhoi serta halalkan, jika tidak maka jauhkan, jauhkan dengan caraMu, jauhkan sejauh yang bisa membuatku lupa, ikhlaskan saat harus melepas, kuatkan saat harus memulai berjalan sendiri.
Yaa- Tuhan mendengar dan mengabulkan, entah ini akhirnya atau awalnya atau apa.
Sore itu, kata hatiku membawa empunya menemui sebuah fakta, fakta yang mungkin aku sendiri belum cukup kuat mengetahuinya. Sampai saat inipun masih terasa sesak dan perih jika mengingat.
Kamu bilang, dia bukan siapa-siapa, hanya anak seorang teman ayahmu. Hanya seorang perempuan yang mungkin pada akhirnya akan dijodohkan denganmu. Semalaman membaca pesan singkatmu, aku kalut. Gemetar di seluruh tubuhku. Menangis. Merenung. Asam lambung yang sudah naik sejak beberapa hari tiba-tiba semakin maksimal malam itu, muntah. Keringat dingin. Menatap nanar layar televisi di kamar kosku, memeluk guling. Menangis lagi. Semua pesan singkatku itu akhirnya membawamu menghubungiku. Berdebat. Aku tidak pernah menyalahkan kenapa harus ada dia, hanya kenapa kamu menutupinya. Entah tidak tega atau apa, aku yang ku rasa sudah tidak waras subuh itu gegabah memutuskan menemuimu di Kota itu. Kota yang sama sekali belum pernah ku datangi. Mandi, muntah lagi. Bersiap. Diantarkan seorang teman menuju perempatan dekat rumah kos untuk menumpang sebuah bus. Saat mereka bertanya “kamu mau kemana ?” ku jawab saja “minta pisah.” Hening. Kamu melarang, mengeluarkan berbagai pesan yang menyesakkan “aku itu sayang sama kamu” “aku juga masih sayang” “aku ngga tega” “aku ngga mau kamu kenapa-kenapa” dan sebagainya. Cukup. Mungkin aku lelah, kalut setengah mati. Di dalam bus itu, aku hanya menatap keluar jendela, bingung memikirkan aku ini mau kemana, aku ini mau apa, nanti jalannya kemana. Seperti orang bodoh yang nekat tetap berangkat. Turun di sebuah kota, menumpang bus yang lainnya lagi. Panas. Tapi sesak di dada lebih membuncah, dia lebih panas lagi. Tepat kurang lebih 3,5 jam akhirnya sampai juga aku disana, turun tanpa tahu harus kemana, sudah bosan bertanya pada orang-orang dalam bus sesak itu. Turun saja, menyebrang jalan menggandeng nenek-nenek tua yang kebingungan itu. Duduk di halte bus panas dan berdebu itu, di depan rumah sakit umum daerah. 5 menit kemudian kamu muncul, berjalan, tersenyum, dan bertanya dengan nada cemas-cemas marah :
“kamu naik apa ?”
“naik elang” ku jawab sekenanya. Nyengir.
Peluhmu berjatuhan, rasanya ingin ku usap, ingin ku peluk saja tubuh itu, kalau saja itu bukan tempat umum, mungkin aku sudah memelukmu dan mungkin saja menangis. Tapi sayang, di depanmu aku tidak bisa menangis, bukan, aku tidak mau menangis. Aku tidak mau dianggap lemah.
Penjelasanmu panjang sekali, dari A-Z. Sejak kiriman coklatku datang, dan orang-orang satu igd ikut memakannya, dan kotak coklat yang ku berikan kamu bawa pulang sejak itulah orangtuamu mulai over protektif. Mulai kisruh mencarikanmu pasangan yang lebih “cocok” atau “sepadan”. Ya Tuhan, apa salahnya menjadi biasa ? kenapa harus diremehkan ? aku hanya bisa tersenyum mendengarnya, kesal sedikit, tapi sudah malas menanggapi. Hari itu aku memang tidak ingin kau bawa masuk ke area rumah sakit itu, aku tidak ingin mereka membicarakanmu lagi, aku tidak ingin menjadi penyebab masalah lagi, aku tidak ingin bapakmu tahu aku disana, aku tidak ingin dia menarikmu pergi dariku atau parahnya menyuruhku pulang saja. Kita memutuskan pergi dari halte itu, duduk di jok belakang motormu. Menuju tempat makan entah itu apa namanya. Duduk berdua, mulai berbicara, berdebat, mendengarkan penjelasanmu. Aku sudah lelah, aku hanya ingin dilepas hari itu, aku hanya ingin terlepas. Aku memang sayang, tapi aku bukan perempuan bodoh, aku tidak mau dianggap bodoh, dengan bersamamu saja banyak yang mengira aku ini bodoh jadi untuk apalagi aku kesana selain minta agar kita segera diakhiri.
Aku tidak mendapatkan jawabanmu hari itu, kamu tidak mengiyakanku, sama sekali tidak. Tak juga menolak berkata tidak lalu menahanku, tidak.
Aku juga tidak ingin memaksa. Hari itu aku hanya ingin punya kenangan yang sedikit lebih manis meskipun akhirnya kita berpisah. Kamu masih mengusap lembut rambutku, masih menatap dalam jauh ke mataku, masih menyuapiku. Haha, aku memang minta kusukan itu dan minta kamu suapi, karena nanti aku tidak akan meminta lagi.  
Kita memang harus berpisah sepertinya, aku tidak akan memaksamu untuk memperjuangkanku, mungkin aku belum cukup pantas disebut menantu oleh bapak ibumu. Aku belum punya apa-apa.
Mungkin perempuan itu, perempuan tepat pilihan ibumu, yang mungkin ibumu sudah percaya ia bisa mengerti apapun yang kamu inginkan, bahkan mengingatkanmu makan saat dia sedang marah, atau membangunkan dan mengucapkan selamat tidur meskipun hatinya sedang kau buat panas, seperti siapa ? sepertiku, ah aku tidak cukup baik menurut mereka.
Kemanapun aku pergi, dimanapun nantinya aku akan bekerja, saat kamu ingin bertemu denganku, saat kamu merindukanku, kamu tidak peduli apapun, yang kamu mau aku harus bisa bertemu denganmu saat itu, entah kapan itu. Selama aku belum menikah atau belum punya pendamping baru.
Memang aku masih mau ?
Haha~ entah, aku merasa sudah mati saat itu, tidak bisa berpikir lagi.
Kembali duduk di jok belakang motormu, bertanya :
“apa kita nanti masih bertemu lagi ?”
Demi langit, aku mengeluarkan pertanyaan itu sungguh hanya untuk nanti, nanti setelah kamu mengantarku ke rumah sakit itu untuk menemui temanku yang lain, aku tidak pernah menanyakan mungkinkah “nanti” kita dipertemukan lagi, aku tidak ingin berpikir mengenai itu.
“kita pasti ketemu lagi ko”
Tersenyum, bodoh, aku tidak peduli lagi dengan “nanti” aku sudah memutuskan untuk tidak lagi.
Kamu masih menyodorkan tanganmu, seperti anak yang salim pada ayah ibunya sebelum pamit pergi, masih ku cium tangan itu, dan masih juga kau berikan sentuhan halus di tanganku, ku lepas genggamanmu, aku tidak ingin kau genggam terlalu lama, tidak mau.
Pamit. Aku berjalan tanpa menoleh lagi, kamu masih memandangi punggungku, seperti yang selalu kamu lakukan setiap kali kita berpisah saat bertemu.
Aku tidak ingin menoleh. Sama sekali tidak ingin.
Berjalan gontai setengah tidak percaya semua ini memang sudah berakhir tapi ini keputusanku, ini keinginanku, lalu apa yang harus ku sesali ?
Di kantin rumah sakit itu aku duduk sendiri, ada beberapa gerombol mahasiswi berpakaian putih-putih disana, aku berpura saja bukan sebagai tenaga kesehatan, memasang earphoneku, mendengarkan lagu-lagu mendayu dari handphoneku sambil menunggu teman itu.
Setelah bercerita dan mengobrol banyak dan sholat dzuhur aku memutuskan pulang, pamit melalui pesan singkat itu.
Menaiki lagi bus sesak itu, turun dan berganti bus, seperti orang bodoh yang baru pertama kali berkunjung ke kota itu, mencari bus lain untuk diantarkan menuju kota tempatku menuntut ilmu. Aku masih ingat sopir bus dan keneknya senja itu selalu ramah padaku, memberikan tempat duduk di dekatnya saat aku berdiri kebingungan mencari tempat duduk, tak hentinya mengajakku bercerita, mereka baik.
Sampai di kosku pukul 7 malam, mereka sahabat-sahabatku membelikanku makan, jangankan makan, meliriknya saja aku enggan. Bodoh. Yaa, aku memang bodoh. Kenapa harus jatuh seperti ini, baru beberapa sendok ku makan sudah ku muntahkan semua, maka esoknya ku putuskan untuk tidak makan saja.
Hari sabtu itu, setelah jumat yang menyedihkan itu aku menuju kos temanku yang lain, berharap bisa menangis sejadinya disitu, bodohnya lagi ada jadwal ujian hari itu, aku tidak peduli aku hanya ingin menangis. Hampir 2 jam menceritakan semuanya, 2 jam itu pula mataku membengkak, puluhan cc cairan keluar dari lubang hidung, berlembar tissue habis, sesak. Sesak sekali.
Untung saja Tuhan adil, meski linglung otakku selalu lebih cepat berlari saat harus menghadapi testnya, dia terus saja berusaha menjadi penguji terbaik saat diuji oleh dosennya hari itu. Aku berhasil. Syukur. Alhamdulillah.
Sore itu setelah ujian ibuku datang ke kota itu, dia menyempatkan menengokku, alasannya memberikan surat kehilangan surat tanda nomor kendaraanku, entah ibuku merasakan ada yang aneh atau tidak, setelah menjemputnya, saat tiba di rumah kosku, aku kembali menangis histeris. Tuhan, kenapa aku jadi segila ini, kenapa aku jadi selemah ini. Lebih kurang 2 jam lamanya menangis, aku tertidur dalam pelukan nyaman ibuku. Beliau tidak pernah menanyakanku kenapa aku menangis, beliau hanya membelai lembut rambutku dan ikut menangis. Ya Tuhan, aku lemah sekali.
Malamnya mamah mengajakku belanja, dibelikan apapun yang aku inginkan, dibelikan apapun yang mau aku makan tapi semuanya hambar. Biasa. Aku lemah.
Paginya lagi, minggu pagi. Mamah sudah membelikanku obat, aku harus meminumnya, aku beralibi. Malas meminum. Malas makan. Lemah.
Sore itu aku berangkat ke kota ini, kota yang 4 minggu ini harus dihabiskan dengan praktek seperti jaman diploma III dulu, bedanya disini saya menjadi pembimbing. Apa bedanya dengan dulu ? sama memakai putih-putih.
Disini, hari-hari pertama itu begitu menyesakkan, aku tidak pernah benar-benar sembuh. Perih mual muntah dan kesusahan tidur di malam hari. Makanan tidak pernah ada yang bisa masuk, tidur lebih cepat hanya mimpi, aku butuh obat tidur. Ya, aku terlalu lemah.
Sampai pada hari itu aku bangkit lagi, mencoba melupakanmu dengan semua usahaku.
Kamu tahu rambut panjangku ? dia habis sekarang, sama seperti hatiku yang kamu bawa pergi, rambut ini ku habiskan agar aku bisa memulai aku yang baru, melupakan semua kenangan itu.
Terimakasih kenangannya, aku tidak akan membencimu meskipun sudah ku coba, hanya biarkan aku berimajinasi bahwa kau memuakkan agar aku malas mendengar namamu, malas mendengar apapun tentangmu dan akhirnya tak mau lagi bertemu denganmu.
Yaa, aku sudah lelah, benar-benar tidak mengerti kenapa aku jadi begini. Maafkan aku.
01.23pm

Rezha Alivia Hildayanti. Perempuan yang katamu dulu selalu membuatmu nyaman. Dulu.

 im fine ^^

Hurt-

Kediri, 24 April 2014
Aku tidak akan mengumpulkan banyak pertanyaan lagi kenapa aku disakiti.
Aku, hanya butuh diam, memandangi langit-langit kamarku dan mungkin menangis terisak saja.
Aku, terlalu lelah untuk mencari-cari alasannya.
Terlalu malas meneliti lagi kenapa terjadi timbal balik yang begitu dahsyat serupa ini.
Aku memilih diam, menunggu dengan sabar apa maksud dan rencanaMu selanjutnya.
Aku, mungkin sudah mendapatkan yang layak aku dapatkan. Mungkin, aku bukan perempuan baik. Atau aku, terlalu bodoh.
Ah~ aku malas, memungkinkan semua kemungkinan yang sajaknya selalu babibu bebe bobo.
Sudahlah, pergilah.
Aku tak kan menyalahkan siapapun, terimakasih karena mungkin telah “menyayangiku” terimakasih tentang semua “kebohongan” ini, entah- siapa yang sebenarnya lebih dulu, aku kah atau dia kah, aku terlalu malas mencari pembenaran itu.
Tak perlu meminta maaf, aku sudah memaafkanmu.
Tak perlu menoleh, memikirkan aku lagi atau apalah itu.
Dia yang lebih kau banggakan, aku hanya perempuan biasa J mau minta apa ?
Dan aku tahu, semuanya pasti ada maksudnya kan J
Terimakasih ..
Terimakasih banyak J
Semoga kamu bahagia, dengan perempuan yang kamu pilih itu, yang kau banggakan itu.
Cukup.
Jangan lagi genggam tanganku, temui atau apapun itu. Jika itu semua hanya karena rasa bersalahmu.
aku baik. Cukup baik. Dan aku akan selalu baik-baik saja.
Semoga semua yang pernah terjadi bisa kita kubur dalam-dalam seandainya memang harus.
Ku lepas kamu karena aku tahu, mungkin senyum bahagiamu kini bukan bersumber dariku.
Pergilah, sejauh apapun itu. Pergi saja..
Terimakasih.
Terimakasih banyak…