Kediri, 10 April 2014
9.04pm, di kamar yang
katanya nyaman. Di kota tempat pelarian yang menghabiskan banyak uang..
Aku, pernah sangat
yakin pada keajaiban yang pernah dikatakan oleh seorang pemuda peralihan yang
mengaku dia dewasa.
Pernah sangat berharap
bahwa hidupku akan terus berpangku terdiam menanti datangnya kembali takdir
sang Kuasa. KeajaibanNya.
Pernah jatuh teringsut
di sudut cerita paling ringkih yang pernah ada.
Bodohnya meninggalkan
seseorang yang benar-benar menyayangiku lagi hanya demi dia, pemuda peralihan.
Tidak, aku tidak pernah mau menyalahkannya, dia yang katanya masih senang
dengan masa sendirinya, tapi beberapa bulan setelah dia berkata seperti itu,
dia malah beralih menuju daun segar lainnya. Ya, takdir dan cerita memang tak
selalu indah, kalau indah-indah saja namanya bukan hidup, itu hanya dongeng
klasik ala-ala yang dibuat-buat, tidak nyata.
Aku, pernah dengan
sombongnya meninggalkan, tak sadar, betapa perihnya kehilangan, betapa
menyakitkannya ditinggalkan, dengan atau tanpa sebab yang namanya perpisahan
bukan hal mudah dan simple layaknya 1+1=2, ini bukan perkara matematika yang
sudah pasti angkanya, ini kehidupan.
Bukan tanpa sebab saat
harus menghadapi pahitnya mengkhianati dan akhirnya dikhianati lantas dengan
sejuta alasan membuat keputusan bahwa sudah tidak ada jalan lagi untuk cerita
kita, untuk kamu dan aku. Sesederhana ucapan “Bapakku pengen aku nikah sama
oranglain”. Bagai guntur, demi apapun hal itu benar-benar terucap olehmu. Kita
berpisah, aku merelakanmu memilih orangtuamu, karena aku tahu, aku bukan
mereka, anak orang berada dengan banyaknya fasilitas dan uang yang bisa asal
tunjuk lalu dapat atau hanya perlu merengek dua kali dihadapan ayah ibunya, aku
berbeda, aku bukan mereka. Aku, hanya seorang gadis biasa saja yang katamu dulu
selalu kau sayangi, yang katamu dulu meskipun saat nyawamu sudah naik dan
ragamu membiru siap ditimbun dibawah tanah kamu masih ingin bersanding di
sebelahku, kamu ingin dimakamkan di sampingku. Tapi itu dulu, hanya sebuah
bualan remaja lelaki yang sudah hampir habis usia remajanya. Sejak kau berkata
kau mati rasa, aku mundur, aku merasa lebih baik pergi, dengan sombongnya
berkata dalam hati mertua mana yang berani menolak seorang gadis berpendidikan,
cantik dan bermasa depan cemerlang. Aku pergi. Mengubur semua mimpi dan
khayalan kita, yang bermalam-malam lalu pernah menguar di langit-langit kamar,
kamar kos, kamar tempatku selalu menangis sedih memelukmu saat semua masalah
kehidupan antri. Saat tidak ada tempat berlari paling aman dan nyaman
menurutku. Pelukmu, dadamu, belaianmu, semuanya sempurna. SEMPURNA.
Tapi, itu dulu. DULU.
Sudah setaun yang lalu
semua ku akhiri, cerita rumit yang melilit antara aku, kamu dan mantan
kekasihku yang sudah jelas semua orang tahu dia sahabatmu. Dia, pemuda
peralihan itu. Dia yang pernah dengan sederhananya membuatku melepaskan kekasih
3,5 tahunku, hanya karena rasa sayang. SAYANG ? Mungkin itu hanya penasaran,
rasa penasaran yang kamu sendiri bahkan tidak akan pernah tahu ujungnya. Sampai
kau dapati, lelaki itu tidak pernah benar-benar menyayangimu. Tidak
benar-benar.
Semuanya berakhir.
Bukan hanya aku dan kamu. Aku dan diapun juga.
Selesai.
Kalian tahu, entah
angin mana itu yang membawa aku menjadi perempuan seperti ini, menutup hatinya
rapat. Pernah beberapa kali dicoba dan itupun selalu gagal. Faktornya bukan
lelaki-lelaki malang itu, lagi-lagi aku lagi. Aku lagi yang menyakiti, tidak
mempersiapkan hati. Belum sadar usianya sudah kepala dua, mau saja didekati
lelaki kanan kiri, tidak berpikir akan jadi apa. Yang disadari hanya dia butuh
hiburan dari luka-luka kemarin. Luka-luka yang semakin menganga saat menyadari
ada perempuan lain yang saat itu mulai membelaimu, dia bukan perempuan anak
juragan kaya pilihan bapak ibumu, dia temanmu, sahabatmu kata mereka. Aku bukan
perempuan yang sebodoh itu, sudah jelas, sahabat dan teman atau sayang yang
lebih bisa dibedakan hanya dengan tatapan mata. Aku tahu itu. Tapi, terlalu
munafik jika aku harus mengumpat kalian, sudahlah, ini takdirku. Mungkin, ini
balasannya. Bukannya pemegang nyawa kita adalah Dzat yang paling adil. Lebih
baik berpikir bagaimana caranya sembuh daripada harus mengutuk perbuatan
kalian, karena aku tahu, salahku juga selalu menyakitimu.
Dan sejak hari itu aku
memilih meringankan kakiku berjalan sendiri. Aku mulai bisa berjalan lagi,
sedikit tertatih, tapi aku bisa, yakini bisa melangkah diatas kedua kakiku
sendiri.
Sebenarnya lelaki baik
hati ini sudah hadir tepat beberapa minggu setelah aku memutuskan meninggalkan
kalian berdua. Tapi mungkin kehadirannya itu hanya sepenggal cerita permulaan,
mungkin Tuhan mengizinkanku mendamaikan hati dulu sebelum akhirnya jatuh
menggelayut paling dalam dihati lelaki itu, karena mungkin Tuhan sudah
merencanakan sakit yang ku tanggung akibatnya lebih dahsyat dari apapun. Dari
yang kemarin-kemarin.
Sudah berbulan
mengenal, berbincang akrab layaknya teman lama yang terpisahkan. Sedikit jauh
lalu mendekat menjauh dan mendekat. Sampai pada waktu itu kamu mendekat,
mengakrabiku lagi. Saat itu entah takdir atau apa aku menjawab sapaanmu, sapaan
dan ucapan maaf khas hari raya lebaran fitri. Kita mulai berbincang lebih akrab
lagi, lewat pesan singkat di telepon genggam cerdas yang kini pasaran dimiliki
setiap orang. Entah nyaman mana yang mengikutimu saat itu,nyaman apa yang
berusaha menembus dinding kokoh pertahananku dalam masa penyembuhan. Kamu
hadir, cemerlang. Mengisi setiap hariku, dengan sapaan khas yang hanya aku yang
mengerti maksudmu, dengan banyak pesan-pesan singkat itu. Kau datang, nyata dalam
memoriku. Seolah sebagai penyelamat atau mungkin hanya perantara. Percaya atau
tidak, hanya kamu lelaki yang datang dan aku tak pernah membayangkan mendapat
sesuatu yang lebih darimu. Sungguh, saat itu aku terlalu bodoh untuk memahami
dan berharap lagi. Aku membiarkannya mengalir tanpa pernah tersadari akhirnya
aku jatuh hati lagi. Sudah lama rasanya tak secepat itu menyayangi. Akhirnya
aku menyayangi lagi, menyayangimu.
Aku benar-benar merasa
bersyukur bisa dipertemukan denganmu waktu itu, aku merasa beruntung. Tuhan
membawamu menemuiku, di kota kesayanganku yang istimewa. Kau datang tepat
ditanggal 6 bulan sebelas. Tepat setelah kurang lebih hampir 9 bulan aku
mengenalmu. Tepat kurang lebih 4 bulan setelah kita benar-benar dekat.
Hari itu, aku bahagia.
Bahagia. Mungkin, hanya seluruh aspal jalanan yang tahu aku tersenyum gugup
sepanjang perjalanan. Bingung membayangkan kalimat pertama yang akan ku
sampaikan, bingung harus bersikap bagaimana di depanmu, bingung bagaimana
rasanya saat harus menatap matamu dan berusaha mencari namaku disana. Aku
gugup. Aku bahagia.
Mungkin kamu tidak akan
pernah tahu, dua buah buku yang ku berikan padamu hari itu memang benar-benar
ingin ku sampaikan padamu, aku ingin kau membacanya, agar saat kau benar-benar
memulai profesimu kau masih bisa bersemangat, masih bisa tersenyum demi
kebahagiaan orangtuamu, karena aku juga pernah di posisimu.
Maaf, sebelum akhirnya
kau jujur mengatakan tentang profesimu, aku sudah beberapa langkah lebih tahu.
Demi apapun, saat itu aku menangis, menangis sejadinya diatas kasurku lalu
berpindah diatas sajadahku, bukannya sok suci atau alim. Aku hanya bingung,
kenapa ALLAH mengirimkanku lelaki berprofesi sepertimu. Bukan profesimu yang
buruk hanya saja aku yang terlalu kecil, terlalu kecil, dan takut. Ya, aku
sadar diri. Posisi pekerjaanku berada di bawahmu, meskipun tidak semua Dokter
itu pintar tapi tetap saja Bidan tidak lebih dari pesuruhnya. Entah semesta
mana yang membuatku beringsut hari itu, aku sudah sadar sejak hari itu, bahkan
takut lebih dulu. Takutnya bapak ibukmu juga menolakku. Aku sadar diri.
Hari itu, tengah hari
yang panas, di sebuah pusat perbelanjaan di Kotaku motor hitamku meluncur
menuju tempat parkirnya, aku berjalan menuju toilet terdekat demi mencuci
tangan dan mengelap muka, membubuhkan bedak tipisku lagi dan memoles sedikit
lipstick peach dibibirku. Aku berjalan lagi menuju sebuah café yang berada
ditengah dua pusat perbelanjaan terkenal itu. Tapi apa kamu tahu aku tidak
seberani itu langsung menemuimu, aku terdiam di depan toko aksesoris itu,
terdiam memandangi telepon genggamku. Sampai akhirnya keberanianku membulat aku
berjalan menuju ke arahmu. Aku lupa memakai kacamataku. Sedikit gugup melepas
pandang ke seluruh penjuru tempat itu, ku dapati ada lelaki manis duduk di sudut
tempat ini, memakai baju hitam dan berkacamata, dia tersenyum ke arahku. Dia
itu kamu. Aku duduk di hadapanmu, memberanikan diri bertanya. Di hadapanku
sudah ada susu coklat kesukaanku, kamu memesannya lebih dulu. Kamu tahu, saat
itu, jangankan memandangmu untuk membuka sedotan dihadapanku dari bungkusnya
pun aku gemetaran, aku sangat gugup.
Kita memulai
berbincang, bercerita apapun yang bisa diceritakan. Saat pertama itu, aku
merasa sangat nyaman berada di dekatmu, tidak pernah ku buat-buat, aku memang
nyaman, makan siang satu meja, menatapmu malu-malu, melihatmu tersenyum,
mendengar suaramu. Dengan bodohnya mencoret-coret partograf yang kau serahkan
padaku, aku tahu maksudmu menunjukkan itu, tapi masa bodoh, aku tidak peduli
profesimu, sejak awal kau bahkan tahu aku tidak pernah menyukai Dokter, Dokter
Muda. Meskipun semua teman-temanku berlarian mengejar mereka, berharap ada satu
saja yang menoleh kearah mereka atau sederhananya menjadikan mereka kekasihnya.
Tapi aku tidak, dari awal aku memang enggan menaruh harap pada orang-orang itu.
Setahuku dulu kamu hanya tenaga kesehatan yang sama sepertiku, hanya mas-mas
perawat. Sayangnya, aku terlalu polos menyadari semua itu. Atau terlalu bodoh.
Kamu bercerita panjang
lebar, tentang dirimu, kenapa tidak jujur soal profesi itu. Dan sebagainya dan
sebagainya. Dan sampai pada hal, orangtua. Iya langit, dia berkata tentang
ORANGTUA.
Seperti tidak tega
melihatku, kata-katamu tak tersampaikan di tempat makan itu. Aku dengan
asyiknya mengunyah makananku, kita bertukar makanan, melihat ekspresi
kekenyanganmu yang memaksakan menghabiskan makanan itu, melihatmu mengunyah
tomat segar dihadapanku. Itu menyenangkan. Menyenangkan.
Kita berdua pergi dari
tempat itu, berjalan beriringan. Mungkin beberapa pasang mata sedang menyaksikan
tapi aku tak peduli, aku lebih senang memilih mengoceh di sebelahmu. Naik
lantai 3. Di depan 21, dengan bodohnya aku menolak ajakanmu. Aku menolak nonton
berdua saat itu, dan itu salah satu penyesalan terbesarku, ku kira aku masih
punya banyak kesempatan bersamamu, aku salah, aku keliru. Turun ke lantai dua.
Masuk toko buku. Keluar. Berbincang di depannya, sibuk memperhatikan orang yang
berlalu lalang, dan sibuk membicarakan mereka.
Dan turun lagi, lantai dasar. Kamu mengantarku ke tempat parkir motor
hitamku yang manis, berjalan di belakangku. Membawakan tasku tanpa ku minta,
memandangiku membuka jok motor dan memakai jaket dan akhirnya keluar
kalimat-kalimat itu. Pamit. Itu katamu, aku tercengang, setengah tak percaya.
Mungkinkah ? baru saja aku bisa tersenyum dan merasa diriku sudah kembali. Kamu
tidak akan pergi, tetap di sampingku, hanya lewat pesan singkat, hanya lewat
itu, tapi kamu berkata tak kan pergi, hanya aku harus memilih orang lain, kamu
takut menyakitiku, kamu takut aku kecewa. Kamu meminta maaf lagi, maaf tidak
bisa menghabiskan masa profesimu di Malang. Di kotaku. Bagiku, itu tidak
masalah, sama sekali tidak. Dimanapun kamu, aku selalu sayang, selalu menunggu.
Tapi, alasanmu ingin pelan-pelan menjauh dariku karena orangtuamu yang membuat panas kedua mataku saat itu, aku
hanya tak ingin tiba-tiba menangis di hadapanmu. Aku terdiam, berusaha
tersenyum, berusaha mencari-cari lagi namaku di kedua bola matamu, ku pandang
dalam-dalam, ku lihat erat-erat, sadar tak bisa memilikimu terlalu lama, aku
masih berusaha tersenyum, berusaha mencari pembenaran hari itu. Kamu jujur,
berkata menyayangiku hari itu saja bagiku sudah cukup, aku tak pernah
menuntutmu jadi apapun sejak awal, tidak pernah berharap bisa mendampingimu
dalam waktu lebih lama. Tidak peduli resikonya aku tetap pada pendirianku,
masih ingin bersamamu. Sentuhan lembut tanganmu dikepalaku hari itu membuatku
yakin, sebenarnya tanpa bertanyapun sudah jelas bagaimana hatimu. Perasaanmu.
Aku masih ingat tawamu saat aku mengerucutkan bibirku manja, kau tertawa, di
depanku. Rasanya aku ingin jam berhenti beberapa saat waktu itu. Ingin.
Pulang,
Aku bahagia, sebenarnya
bercampur airmata sedih dan senang, susah dibedakan.
Kita tidak pernah
benar-benar menjauh. Tidak pernah benar-benar mencoba melupakan. Justru aku
merasa hari demi hari, bulan demi bulan aku semakin menyayangimu.
Bulan ke dua belas
tahun lalu, aku menghitung sendiri. Aku hanya ingin bersamamu sedikit lebih
lama, meskipun resikonya aku harus terluka. Ku tulis sendiri dan ku hitung
sendiri, sisa berapa lama lagi aku bisa bermanja padamu, menunggumu pulang,
membaca ucapan selamat pagimu, membaca kalimat “jangan lupa makan, awas
maag”-mu, dan sleeptight di penghujung malamku, itu kebahagiaanku. Entah,
kenapa aku terjatuh justru pada hal yang sangat sederhana seperti ini, tak
berharap apapun, tak memiliki ekspektasi apapun. Berkali aku menyesali kenapa
tidak sempat mengabadikan foto kita berdua saat bertemu kali pertama itu, aku
terlalu gugup untuk berfoto berdua bersamamu.
Bulan berlalu, aku
mulai sedikit rewel, seperti bayi yang baru tumbuh gigi, seperti bayi yang
kesusahan memulai tidurnya, seperti bayi yang hendak disapih oleh ibunya. Aku
benar-benar tak mudah dimengerti, sering sekali marah, sering membuatmu pusing
ku rasa, kamu lelakiku yang sabar hanya saja terlalu kaku dan keras kepala.
Kamu lelakiku yang hebat, lelakiku yang susah diyakinkan. Lelakiku yang
mempunyai pendirian kuat. Kamu lelaki manis kesayanganku yang terlahir di hari
ke 31 bulan Agustus, yang berkepribadian plegmatis, dan bergolongan darah B.
AKU MENYAYANGIMU.
Dan, sampai hari yang
membahagiakan itu datang lagi, kamu menemuiku lagi. Tuhan, aku sangat bahagia
hari itu, bisa pergi berdua bersamamu. Berlibur berdua denganmu, merasakan
indahnya kotaku denganmu di sampingku. Meskipun terbatas waktu. Ya, kamu harus
cepat pulang hari itu.
Di kebun binatang
kotaku, kita berjalan berdua, bergurau, tertawa. Bahagia. Merengek manja saat kau paksa makan kue yang
dibawakan ibumu, membuatmu menyuapiku dengan malu-malu. Minum satu botol
minuman denganmu, itu indah, indah sekali. Ketakutan sendiri saat masuk ke
rumah hantu mainan itu, membuatku memegang erat lenganmu, berlindung diantara
punggung dan bahumu, membuat tanganmu kembali mengusap rambut dikepalaku, aku
takut campur bahagia dan berdebar hebat saat itu. Berjalan lagi, kita berdua
naik di kereta itu,kereta yang membawa penumpangnya keliling beberapa kompleks
tempat hewan-hewan yang bisa disuapi manja beberapa potong wortel dari tangan
kita. Tertawa berdua menyadari ada unta yang menjulangkan mulutnya kearahku,
aku takut, mundur-mundur perlahan ke arahmu, takut-takut tertawa berdua
denganmu.
Beralih lagi, berpindah
melihat atraksi singa laut disana. Disitu ku beranikan diri meminta foto, foto
kita berdua. Genggaman tangan itu benar-benar berarti, sangat. Lebih dari
apapun. Foto yang ku rasa kaupun malu-malu melakukannnya, tersenyum manis di
depan kamera, di depan kaca besar ada singa atau macan atau apalah itu, biar
saja mereka lihat, aku sedang bahagia-bahagianya bersandar di bahumu, dan kamu
mengusap lembut kepalaku lagi, demi apapun Tuhan, aku ingin bersamanya lebih
lama lagi.
Akhirnya, setelah
hampir satu tahun kita berkenalan, hampir
7 bulan kita dekat aku bisa mempunyai dokumentasi foto berdua denganmu.
Sampai hari ini, kamu sedikit berubah, entah karena mungkin
hari itu aku meminta kau lepaskan atau karena hal lain. Hal lain tentang
ujian-ujian stase kedokteranmu itu. Aku juga berusaha, berusaha pelan-pelan
menjauh. Karena aku tahu, kamu mungkin juga tidak akan sepenuhnya menjadi
milikku. Orangtuamu, faktor orangtua lagi, perjodohan lagi. Entahlah Tuhan,
nanti aku hanya ingin jadi perempuan mapan, yang nanti sampai pada akhirnya
tidak ada lagi yang berani menolakku untuk menjadi menantunya, ibu dari
cucu-cucu mereka. tak apa aku kamu
sembunyikan dulu, aku paham. Aku mencoba mengerti lebih dalam lagi.
Aku sering dianggap
bodoh oleh orang-orang yang mengetahui cerita ini, peduli apa, aku yang
menjalani, sejatinya logika seseorang memang mati saat harus menyayangi
seseorang, aku tahu kemana arahnya, aku tahu harus bagaimana. Sudahlah, aku
hanya ingin bersamamu, selama kita masih punya waktu. Masih bisa menjalani ini
berdua, sampai batas waktu yang diam-diam ku tentukan sendiri. Kamu harus
percaya aku bisa sembuh sendiri, jangan terlalu memikirkan bagaimana nantinya
aku bisa berjalan lagi, hanya, percayalah padaku, aku hanya ingin bersamamu.
Aku hanya ingin
bersamamu lebih lama lagi, meskipun akhirnya kamu harus ku lepaskan, aku tahu
pasti akan sakit, tapi selama aku bisa, selama kamu masih bisa bersamaku. Aku
hanya ingin pulang, menujumu. Kamu.
Berubahlah, tak
apa-apa, selama yang dimaksud ALLAH itu kamu, kamu pasti kembali, menemukan
jalan pulang yang paling tepat.
Semua yang terjadi itu
karena sebuah alasan bukan ? aku ikhlas. ^^
-Rezha Alivia
Hildayanti-
7.54 pm
Kediri, 11 April 2014