Trenggalek,
20 May 2014
Selamat
malam Kota yang sepi. Kota tempat pertama kali aku merasa benar-benar linglung
dan jatuh…
Bukan,
ini bukan karena Kotanya.
Ini
karena aku. Aku sendiri.
Kalian
masih ingat tentang “Entah” yang aku tulis dan postingkan beberapa saat lalu ?
yaa- ini masih tentang lelaki terakhir yang aku tulis disana.
Tuhan
sepertinya memang Maha Adil, Dzat yang selalu mendengar setiap do’a. Beberapa
waktu lalu aku berdo’a. Jika memang kamu lelaki yang selama ini Dia maksud
tolong dekatkan dan ridhoi serta halalkan, jika tidak maka jauhkan, jauhkan
dengan caraMu, jauhkan sejauh yang bisa membuatku lupa, ikhlaskan saat harus
melepas, kuatkan saat harus memulai berjalan sendiri.
Yaa-
Tuhan mendengar dan mengabulkan, entah ini akhirnya atau awalnya atau apa.
Sore
itu, kata hatiku membawa empunya menemui sebuah fakta, fakta yang mungkin aku
sendiri belum cukup kuat mengetahuinya. Sampai saat inipun masih terasa sesak
dan perih jika mengingat.
Kamu
bilang, dia bukan siapa-siapa, hanya anak seorang teman ayahmu. Hanya seorang
perempuan yang mungkin pada akhirnya akan dijodohkan denganmu. Semalaman
membaca pesan singkatmu, aku kalut. Gemetar di seluruh tubuhku. Menangis.
Merenung. Asam lambung yang sudah naik sejak beberapa hari tiba-tiba semakin
maksimal malam itu, muntah. Keringat dingin. Menatap nanar layar televisi di
kamar kosku, memeluk guling. Menangis lagi. Semua pesan singkatku itu akhirnya
membawamu menghubungiku. Berdebat. Aku tidak pernah menyalahkan kenapa harus
ada dia, hanya kenapa kamu menutupinya. Entah tidak tega atau apa, aku yang ku
rasa sudah tidak waras subuh itu gegabah memutuskan menemuimu di Kota itu. Kota
yang sama sekali belum pernah ku datangi. Mandi, muntah lagi. Bersiap.
Diantarkan seorang teman menuju perempatan dekat rumah kos untuk menumpang
sebuah bus. Saat mereka bertanya “kamu mau kemana ?” ku jawab saja “minta
pisah.” Hening. Kamu melarang, mengeluarkan berbagai pesan yang menyesakkan
“aku itu sayang sama kamu” “aku juga masih sayang” “aku ngga tega” “aku ngga
mau kamu kenapa-kenapa” dan sebagainya. Cukup. Mungkin aku lelah, kalut
setengah mati. Di dalam bus itu, aku hanya menatap keluar jendela, bingung
memikirkan aku ini mau kemana, aku ini mau apa, nanti jalannya kemana. Seperti
orang bodoh yang nekat tetap berangkat. Turun di sebuah kota, menumpang bus
yang lainnya lagi. Panas. Tapi sesak di dada lebih membuncah, dia lebih panas
lagi. Tepat kurang lebih 3,5 jam akhirnya sampai juga aku disana, turun tanpa
tahu harus kemana, sudah bosan bertanya pada orang-orang dalam bus sesak itu.
Turun saja, menyebrang jalan menggandeng nenek-nenek tua yang kebingungan itu.
Duduk di halte bus panas dan berdebu itu, di depan rumah sakit umum daerah. 5
menit kemudian kamu muncul, berjalan, tersenyum, dan bertanya dengan nada
cemas-cemas marah :
“kamu
naik apa ?”
“naik
elang” ku jawab sekenanya. Nyengir.
Peluhmu
berjatuhan, rasanya ingin ku usap, ingin ku peluk saja tubuh itu, kalau saja
itu bukan tempat umum, mungkin aku sudah memelukmu dan mungkin saja menangis.
Tapi sayang, di depanmu aku tidak bisa menangis, bukan, aku tidak mau menangis.
Aku tidak mau dianggap lemah.
Penjelasanmu
panjang sekali, dari A-Z. Sejak kiriman coklatku datang, dan orang-orang satu
igd ikut memakannya, dan kotak coklat yang ku berikan kamu bawa pulang sejak
itulah orangtuamu mulai over protektif. Mulai kisruh mencarikanmu pasangan yang
lebih “cocok” atau “sepadan”. Ya Tuhan, apa salahnya menjadi biasa ? kenapa
harus diremehkan ? aku hanya bisa tersenyum mendengarnya, kesal sedikit, tapi
sudah malas menanggapi. Hari itu aku memang tidak ingin kau bawa masuk ke area
rumah sakit itu, aku tidak ingin mereka membicarakanmu lagi, aku tidak ingin
menjadi penyebab masalah lagi, aku tidak ingin bapakmu tahu aku disana, aku
tidak ingin dia menarikmu pergi dariku atau parahnya menyuruhku pulang saja.
Kita memutuskan pergi dari halte itu, duduk di jok belakang motormu. Menuju
tempat makan entah itu apa namanya. Duduk berdua, mulai berbicara, berdebat, mendengarkan
penjelasanmu. Aku sudah lelah, aku hanya ingin dilepas hari itu, aku hanya
ingin terlepas. Aku memang sayang, tapi aku bukan perempuan bodoh, aku tidak
mau dianggap bodoh, dengan bersamamu saja banyak yang mengira aku ini bodoh
jadi untuk apalagi aku kesana selain minta agar kita segera diakhiri.
Aku
tidak mendapatkan jawabanmu hari itu, kamu tidak mengiyakanku, sama sekali
tidak. Tak juga menolak berkata tidak lalu menahanku, tidak.
Aku
juga tidak ingin memaksa. Hari itu aku hanya ingin punya kenangan yang sedikit
lebih manis meskipun akhirnya kita berpisah. Kamu masih mengusap lembut
rambutku, masih menatap dalam jauh ke mataku, masih menyuapiku. Haha, aku
memang minta kusukan itu dan minta kamu suapi, karena nanti aku tidak akan
meminta lagi.
Kita
memang harus berpisah sepertinya, aku tidak akan memaksamu untuk
memperjuangkanku, mungkin aku belum cukup pantas disebut menantu oleh bapak
ibumu. Aku belum punya apa-apa.
Mungkin
perempuan itu, perempuan tepat pilihan ibumu, yang mungkin ibumu sudah percaya
ia bisa mengerti apapun yang kamu inginkan, bahkan mengingatkanmu makan saat
dia sedang marah, atau membangunkan dan mengucapkan selamat tidur meskipun
hatinya sedang kau buat panas, seperti siapa ? sepertiku, ah aku tidak cukup
baik menurut mereka.
Kemanapun
aku pergi, dimanapun nantinya aku akan bekerja, saat kamu ingin bertemu
denganku, saat kamu merindukanku, kamu tidak peduli apapun, yang kamu mau aku
harus bisa bertemu denganmu saat itu, entah kapan itu. Selama aku belum menikah
atau belum punya pendamping baru.
Memang
aku masih mau ?
Haha~
entah, aku merasa sudah mati saat itu, tidak bisa berpikir lagi.
Kembali
duduk di jok belakang motormu, bertanya :
“apa
kita nanti masih bertemu lagi ?”
Demi
langit, aku mengeluarkan pertanyaan itu sungguh hanya untuk nanti, nanti
setelah kamu mengantarku ke rumah sakit itu untuk menemui temanku yang lain,
aku tidak pernah menanyakan mungkinkah “nanti” kita dipertemukan lagi, aku
tidak ingin berpikir mengenai itu.
“kita
pasti ketemu lagi ko”
Tersenyum,
bodoh, aku tidak peduli lagi dengan “nanti” aku sudah memutuskan untuk tidak
lagi.
Kamu
masih menyodorkan tanganmu, seperti anak yang salim pada ayah ibunya sebelum
pamit pergi, masih ku cium tangan itu, dan masih juga kau berikan sentuhan
halus di tanganku, ku lepas genggamanmu, aku tidak ingin kau genggam terlalu
lama, tidak mau.
Pamit.
Aku berjalan tanpa menoleh lagi, kamu masih memandangi punggungku, seperti yang
selalu kamu lakukan setiap kali kita berpisah saat bertemu.
Aku
tidak ingin menoleh. Sama sekali tidak ingin.
Berjalan
gontai setengah tidak percaya semua ini memang sudah berakhir tapi ini
keputusanku, ini keinginanku, lalu apa yang harus ku sesali ?
Di
kantin rumah sakit itu aku duduk sendiri, ada beberapa gerombol mahasiswi
berpakaian putih-putih disana, aku berpura saja bukan sebagai tenaga kesehatan,
memasang earphoneku, mendengarkan lagu-lagu mendayu dari handphoneku sambil
menunggu teman itu.
Setelah
bercerita dan mengobrol banyak dan sholat dzuhur aku memutuskan pulang, pamit
melalui pesan singkat itu.
Menaiki
lagi bus sesak itu, turun dan berganti bus, seperti orang bodoh yang baru
pertama kali berkunjung ke kota itu, mencari bus lain untuk diantarkan menuju
kota tempatku menuntut ilmu. Aku masih ingat sopir bus dan keneknya senja itu
selalu ramah padaku, memberikan tempat duduk di dekatnya saat aku berdiri
kebingungan mencari tempat duduk, tak hentinya mengajakku bercerita, mereka
baik.
Sampai
di kosku pukul 7 malam, mereka sahabat-sahabatku membelikanku makan, jangankan
makan, meliriknya saja aku enggan. Bodoh. Yaa, aku memang bodoh. Kenapa harus
jatuh seperti ini, baru beberapa sendok ku makan sudah ku muntahkan semua, maka
esoknya ku putuskan untuk tidak makan saja.
Hari
sabtu itu, setelah jumat yang menyedihkan itu aku menuju kos temanku yang lain,
berharap bisa menangis sejadinya disitu, bodohnya lagi ada jadwal ujian hari
itu, aku tidak peduli aku hanya ingin menangis. Hampir 2 jam menceritakan
semuanya, 2 jam itu pula mataku membengkak, puluhan cc cairan keluar dari
lubang hidung, berlembar tissue habis, sesak. Sesak sekali.
Untung
saja Tuhan adil, meski linglung otakku selalu lebih cepat berlari saat harus
menghadapi testnya, dia terus saja berusaha menjadi penguji terbaik saat diuji
oleh dosennya hari itu. Aku berhasil. Syukur. Alhamdulillah.
Sore
itu setelah ujian ibuku datang ke kota itu, dia menyempatkan menengokku,
alasannya memberikan surat kehilangan surat tanda nomor kendaraanku, entah
ibuku merasakan ada yang aneh atau tidak, setelah menjemputnya, saat tiba di
rumah kosku, aku kembali menangis histeris. Tuhan, kenapa aku jadi segila ini,
kenapa aku jadi selemah ini. Lebih kurang 2 jam lamanya menangis, aku tertidur
dalam pelukan nyaman ibuku. Beliau tidak pernah menanyakanku kenapa aku
menangis, beliau hanya membelai lembut rambutku dan ikut menangis. Ya Tuhan,
aku lemah sekali.
Malamnya
mamah mengajakku belanja, dibelikan apapun yang aku inginkan, dibelikan apapun
yang mau aku makan tapi semuanya hambar. Biasa. Aku lemah.
Paginya
lagi, minggu pagi. Mamah sudah membelikanku obat, aku harus meminumnya, aku
beralibi. Malas meminum. Malas makan. Lemah.
Sore
itu aku berangkat ke kota ini, kota yang 4 minggu ini harus dihabiskan dengan
praktek seperti jaman diploma III dulu, bedanya disini saya menjadi pembimbing.
Apa bedanya dengan dulu ? sama memakai putih-putih.
Disini,
hari-hari pertama itu begitu menyesakkan, aku tidak pernah benar-benar sembuh.
Perih mual muntah dan kesusahan tidur di malam hari. Makanan tidak pernah ada
yang bisa masuk, tidur lebih cepat hanya mimpi, aku butuh obat tidur. Ya, aku
terlalu lemah.
Sampai
pada hari itu aku bangkit lagi, mencoba melupakanmu dengan semua usahaku.
Kamu
tahu rambut panjangku ? dia habis sekarang, sama seperti hatiku yang kamu bawa
pergi, rambut ini ku habiskan agar aku bisa memulai aku yang baru, melupakan
semua kenangan itu.
Terimakasih
kenangannya, aku tidak akan membencimu meskipun sudah ku coba, hanya biarkan
aku berimajinasi bahwa kau memuakkan agar aku malas mendengar namamu, malas
mendengar apapun tentangmu dan akhirnya tak mau lagi bertemu denganmu.
Yaa,
aku sudah lelah, benar-benar tidak mengerti kenapa aku jadi begini. Maafkan
aku.
01.23pm
Rezha
Alivia Hildayanti. Perempuan yang katamu dulu selalu membuatmu nyaman. Dulu.
im fine ^^